Kamis, 02 Maret 2017

Gereja dan Tugas Pemanggilan Gereja dan bagaimana Penatalayanan di dalamnya.



I.         TUGAS PANGILAN GEREJA

a.        Apa itu Tugas?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “ Tugas” diartikan sebagai: Kewajiban yang harus dikerjakan, pekerjaan yang merupakan tanggungjawab; pekerjaan yang dibebankan; perintah untuk berbuat atau melakukan sesuatu”. Dalam hubungannya dengan Gereja, maka dapat dipahami bahwa Tugas merupakan; kewajiban atau tanggungjawab yang harus dilakukan oleh setiap Orang percaya sesuai dengan maksud dan tujuan yang memberikan tugas tersebut, yaitu Tuhan Yesus Kristus, Sang Kepala Gereja.

b.        Panggilan

Kata “ Panggilan” berasal dari kata “Panggil”. Dalam hal ini, Tuhan Yesus Kristus Sang Kepala Gerejalah yang memanggil kita Gereja-Nya untuk Datang kepada-Nya, kemudian pergi bagi Dia. Jadi, “Panggilan”  dapat dipahami sebagai tindakan memberi diri secara total kepada Tuhan Yesus bukan hanya untuk datang kepada-Nya, tetapi juga untuk pergi bagi Dia (Pemanggilan dan pengutusan). Panggilan juga harus dipahami sebagai ajakan, undangan untuk melakukan sesuatu pekerjaan sesuai dengan kehendak yang memanggil, yakni Tuhan Yesus Kristus.

c.         Gereja

Gereja (ekklesia) yang berarti sidang, perkumpulan, perhimpunan, paguyuban pada umumnya (seperti di kampung, di kota atau negara). Kata ini juga yang kemudian dipakai gereja untuk menamai kelompok orang yang percaya kepada Kristus setelah peristiwa salib dan kebangkitan Yesus Kristus.
Menurut Robertus Belarminos, Gereja adalah suatu bentuk manusia yang khusus. Kata “Gereja” yang dipakai sekarang dan digunakan secara luas dalam masyarakat Indonesia sesungguhnya berasal dari bahasa Portugis yakni “Igreja” yang berarti “persekutuan”. Gereja juga diyakini oleh orang-orang Kristen sebagai wahyu dari Tuhan dalam arti yang sesungguhnya, artinya Gereja adalah sesuatu yang benar-benar difirmankan oleh Allah untuk dijadikan sebagai alat pemersatu dan sekaligus perekat semua orang Kristen (pengikut Yesus Kristus).
Menurut John Titaley, Gereja adalah organisasi keagamaan “universal” yang baru bermakna dalam konteks sosial tertentu, walaupun secara teologis bisa dirumuskan sebagai mitra kerja Allah yang ditempatkan dalam suatu konteks sosial tertentu. Gereja juga adalah praeformasi atau bentuk pendahuluan dari pada umat manusia yang baru, gereja menuju kepada penyataan yang sepenuhnya dari kerajaan Allah yang hidup dari dan dalam abad kebangkitan. Gereja harus dipahami sebagai sebuah terminologi yang mengikat pada masa dahulu, kini dan pada masa yang akan datang.

I.                   Gereja Sebagai Persekutuan Orang Percaya

Gereja sebagai persekutuan orang percaya merupakan sebuah tatanan kehidupan sosial masyarakat yang berbasis dan bertumpu pada ajaran-ajaran Injil yang mengikat erat anggotanya dalam iman seorang dengan yang lain. Persekutuan Kristen pertama kali dikenal dengan sebutan “Kristen” adalah di Antiokhia yakni di daerah Siria (Kisah Para Rasul 11: 26). Orientasi kehidupan bergereja adalah Yesus Kristus, yang melakukan kehendak Allah di dalam kebenaran dan kebangkitan Yesus, di mana orang percaya dibangkitkan pada kehidupan baru  ( Roma 6 : 4).
Gereja sebagai persekutuan orang percaya juga harus dipahami sebagai persekutuan dengan Kristus. Jikalau dalam suatu gereja Kristen persekutuan itu tidak ada, maka Gereja tersebut tidak berhak disebut gereja. Akan tetapi persekutuan dengan Kristus itu tidak dapat dipisahkan pula dengan persekutuan dengan sesama. Menurut Emill Bruner, “Secara vertikal hubungan itu diwujudkan di dalam persekutuan dengan Allah, secara horizontal diwujudkan di dalam persekutuan dengan sesama orang beriman (persaudaraan)”. Tuhan Allah sesungguhnya tidak hanya memanggil gereja sebagai gereja bagi diri sendiri dan tersendiri, tetapi sebagai gereja yang hidup dan berjuang melayani, dalam dan dengan sekitarnya. Gereja tidak akan mungkin dapat hidup menikmati kesejahteraan total di atas kehancuran dunia sendirian, kalau dunia sekitar hancur lebur, luluh lantak, gerejapun pada akhirnya akan luluh berguguran dan akan lebur juga. Karena itu gereja berada di dalam dunia tetapi bukan dari dunia, diutus untuk menjadi alat menghadirkan syalom di tengah-tengah dunia.


II.                Gereja Sebagai Tubuh Kristus

Perjanjian Baru menggunakan beberapa metafora yang berbeda-beda yang menjelaskan arti dan fungsi gereja. Gereja disebut “Tubuh Kristus” (1 Kor. 10: 27; 12: 27; Ef. 1: 23; 4: 15; Kol. 1: 24), di mana orang dimasukkan ke dalamnya melalui babtisan dan perjamuan kudus.  Menurut H. Hadjiwijono, Gereja tidak memiliki tujuan pada dirinya sendiri, melainkan dipanggil untuk menjadi sarana berkembangnya kerajaan Allah. Sering terlihat bahwa di dalam hidup sehari-hari gereja sebagi lembaga belaka, sebagai organisasi dengan segala kesibukannya, kebaktian hari Minggu, katekisasi, penyelidikan Alkitab, komisi-komisi umur dan kesibukan lainnya. Dalam konteks seperti ini, banyak orang memahami bahwa hubungan dengan Yesus Kristus sang kepala Gereja hanyalah hubungan individual semata, seperti yang sering dipahami kalangan kharismatik. Menurut E. G. Singgih, perkembangan pemahaman seperti ini di dalam jemaat, akan berakibat kurang baik dan akan mengakibatkan makin mengaburnya nilai-nilai hakiki dari pengertian Gereja sebagai “Persekutuan orang percaya dari segala abad dan sepanjang zaman yang bergerak menuju kerajaan sorga seperti yang terdapat dalam pengakuan iman Kristen”.  Dengan kata lain, kata Panenberg, karya Kristus Tuhan pada manusia adalah untuk mengarahkan gereja kepada kerajaan Allah yang mengatasi gereja. Karena itu gereja haruslah dipahami sebagai persekutuan orang percaya kepada Yesus Kristus yang berada di dalam dunia sedang bergerak ke depan secara bersama-sama menuju kepada satu tujuan.

a.      Koinonia (bersekutu)

Koinonia berasal dari bahasa Yunani “Koinon” yaitu: Koinonein artinya bersekutu, Koinonos artinya teman, sekutu, Koinonia artinya persekutuan. Kata: ”Koinonia” baik dalam Alkitab, maupun dalam masyarakat Yunani pada waktu itu tidak terbatas pada salah satu pengertian saja, melainkan mempunyai arti yang luas sesuai dengan konteksnya. Dikalangan masyarakat Yunani kata “koinonia” seringkali dipakai untuk mengambarkan hubungan manusia dengan ilah-ilah. Hubungan itu dibayangkan sebagai hubungan antar teman (koinonos). “Koinonein” berarti bergaul secara akrab dengan ilah-ilah, supaya mencapai hubungan mistik yang membawa kepada kebahagiaan yang hebat. Itulah sebabnya dalam Septuaginta, kata “koinonia” tidak pernah mengambarkan hubungan antara Allah dengan manusia. Di dalam PL kata “hamba” (Ibr: ebed) dipakai, bukan teman untuk menggambarkan hubungan Allah dengan manusia. Manusia adalah hamba Allah. Allah sebagai khalik dan manusia sebagai mahluk. Namun dalam Perjanjian Baru ada perubahan: karena melalui Yesus Kristus manusia dapat dipersatukan kembali dengan Allah. Dalam Kristus, Allah datang dan menemui manusia.

Dalam PB kata “Koinonia” mempunyai beberapa pengertian :

*      Mengambil bagian bersama-sama dengan orang lain dalam sesuatu.

Lukas 5: 10; waktu Tuhan Yesus menyuruh murid-murid menjala ikan, maka mereka melaksanakan perintah Tuhan. Mereka mendapat banyak ikan. Karena banyaknya, mereka semua harus mengambil bagian dalam hal menarik jala. Di sini koinonia sebagai persekutuan para pekerja. Dalam I Kor 10: 16…, arti persekutuan (koinonia) adalah mengambil bagian dalam penderitaan dan kematian Yesus Kristus di dalam persekutuan Perjamuan Kudus.

*      Memberi bagian kepada seseorang

Sebagai contoh untuk memahami kononia dalam lingkup ini, Filipi 4: 15 kata “mengadakan perhitungan” adalah terjemahan dari kata koinonein dalam arti memberi bagian. Paulus memberi jemaat Filipi bagian dalam mengabarkan Injil, sedangkan jemaat Filipi tanpa diminta memberi Paulus bagian untuk penghidupannya. Itulah salah satu segi dari persekutuan yaitu saling memberi bagian kepada orang lain.

*      Koinonia sebagai Persekutuan penuh (absolut)

Dalam Galatia 2: 9, digambarkan bahwa Paulus dan Bernabas dengan berjabatan tangan sebagai tanda persekutuan diterima secara penuh dalam persekutuan yang dijadikan oleh iman bersama kepada Kristus. Tanda hubungan erat antara kedua belah pihak, bahwa mereka bersekutu dalam Kristus. Jadi koinonia (persekutuan) mempunyai dasar dan tujuan yang berasal dari Yesus Kristus. Dasar dan tujuan ini tidak dapat diganti dengan dasar dan tujuan yang lain. Jikalau persekutuan ini menganti dasar, yang sudah diletakkan oleh dan di dalam Yesus Kristus maka persekutuan ini kehilangan hakekatnya dan secara azasi bukan persekutuan (koinonia) lagi. Koinonia adalah persekutuan jemaat di dalam Kristus, walaupun banyak anggota namun membentuk satu tubuh Kristus. Di dalam Koinonia ini kita tidak hanya sekedar bersekutu, tetapi kita mengambarkan Injil Kerajaan Allah melalui perkataan/kesaksian (Marturia) maupun perbuatan /pelayanan (Diakonia) di mana dan kapan saja.

b.      Marturia

Berasal dari bahasa Yunani: “Marturia” : Kesaksian. “Marturein”: Bersaksi. Marturein dalam Perjanjian Baru memberi arti antara lain:
*      Memberi kesaksian tentang fakta atau kebenaran (Lukas 24: 48; Matius 23: 31)
*      Memberi kesaksian baik tentang seseorang (Lukas 4: 22; Ibr 2: 4)
*      Membawakan khotbah untuk Pekabaran Injil (Kis 23:11) di sini bersaksi sebagai istilah pengutusan/Pekabaran Injil.
Meskipun Kita bukanlah saksi mata dari karya penyelamatan Yesus Kristus, tetapi kitalah saksi keyakinan (iman), dengan demikian hidup kita harus berdasarkan iman tersebut. Allah mengutus anak-Nya Yesus Kristus, Kristus pun mengutus murid-murid-Nya ke dalam dunia (Yoh 20: 21), supaya kabar keselamatan (Injil) diproklamirkan. Tugas ini diberikan Allah kepada setiap orang yang percaya dengan karunia masing-masing, agar dapat diwujudkan dalam perkataan dan perbuatan.

c.       Diakonia (Pelayanan)

Secara harafiah, kata diakonia berarti memberi pertolongan atau pelayanan. Dalam bahasa Ibrani pertolongan, penolong, ezer dalam Kej. 2: 18, 20; Mzm. 121: 1. Diakonia dalam bahasa Ibrani disebut syeret yang artinya melayani. Dalam terjemahan bahasa Yunani, kata diakonia disebutkan diakonia (pelayanan), diakonein (melayani), dan diakonos/diaken (pelayan). Istilah diakonia sebenarnya, sudah terlihat sejak dari Perjanjian lama. Dalam Kitab Kejadian jelas dikatakan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dari yang tidak ada menjadi ada (Ex Nihilo) dan semua yang diciptakan Allah sungguh amat baik (Kej. 1:10-31).
Dalam Perjanjian Baru, di samping kata-kata ini terdapat 5 kata lain untuk melayani, masing-masing dengan nuansa dan arti tersendiri, yang dalam terjemahan-terjemahan Alkitab kita pada umumnya diterjemahkan dengan kata melayani yaitu:

*      Douleuein, yaitu melayani sebagai budak. Kata ini terutama menunjukkan arti ketergantungan dari orang yang melayani. Orang Yunani sangat tidak menyukai kata ini. Orang baru menjadi manusia jika ia dalam keadaan bebas. Perjanjian Baru, mula-mula memakai kata ini dalam arti biasa sesuai dengan keadaan masyarakat pada masa itu. Di samping itu, kata ini juga mendapat arti religius. Orang Kristen adalah budak Tuhan Allah atau hamba Kristus Yesus (Rom. 1:1). Itu sesungguhnya merupakan suatu gelar kehormatan. Seorang Kristen tidak melakukan keinginan dan rencananya sendiri, tetapi keinginan dan rencana Tuhan Yesus yang telah melepaskannya dari belenggu dosa dan dengan demikian sudah membebaskannya.

*      Leitreuein, yaitu melayani untuk uang. Kata bendanya latreia (pelayanan yang diupah) juga dipakai dalam pemujaan dewa-dewa. Dalam terjemahan Yunani dalam PL, yaitu Septuaginta (LXX), kata ini terdapat kurang lebih 90 kali, pada umumnya untuk melayani Tuhan Allah dan pada khususnya untuk pelayanan persembahan . Juga dalam Perjanjian Baru, kata ini menunjukkan pelayanan untuk Tuhan Allah atau dewa-dewa, tidak pernah untuk saling melayani manusia. Roma 12:1 menyebutkan logike latreia (ibadah yang sejati). Melayani Tuhan dengan tubuh, yaitu dengan diri sendiri dalam keberadaan yang sebenarnya adalah ibadah yang sesungguhnya dalam hubungan baru antar Kristus dan manusia.

*      Leitourgein yaitu dalam bahasa Yunani digunakan untuk pelayanan umum bagi kesejahteraan rakyat dan negara. Dalam LXX arti sosial politik ini terutama dipakai di lingkungan pelayanan di kuil-kuil. Dalam Perjanjian Baru (khususnya surat Ibrani), kata ini menunjukkan kepada pekerjaan Imam besar Yesus Kristus. Kemudian dalam Roma 15:27 dan 2 Kor. 9:12, kata ini dipakai untuk kolekte dari orang Kristen asal kafir (suatu perbuatan diakonal) untuk orang miskin di Yerusalem. Dari kata inilah berasal kata liturgi, yaitu suatu kata ibadah dalam peretemuan jemaat.

*       Therapeuein yaitu menggarisbawahi kesiapan untuk melakukan pelayanan ini sebaik mungkin. Kata ini juga di tempat lain, dipakai sebagai sinonim dari menyembuhkan.

*      Huperetein yaitu menunjukkan suatu hubungan kerja terutama relasi dengan orang untuk siapa pekerjaan  itu dilakukan. Kata ini berarti si pelaksana memperhatikan instruksi si pemberi kerja.

Dari semua kata di atas yang artinya saling berkaitan, kelompok kata diakonein mempunyai nuansa khusus, mengenai pelayanan antarsesama yang sangat pribadi sifatnya. Kata-kata tersebut di atas di sana-sini menunjukkan arti diakonal. Ada hubungan antara liturgi dan diakonia, sementara therapeuo dalam arti perawatan orang sakit erat kaitannya dengan apa yang dimaksudkan dengan diakonia.
Secara umum, adapun model-model/ bentuk-bentuk diakonia dalam gereja terbagi atas tiga jenis, antara lain:

*      Diakonia Karitatif. Diakonia karitatif mengandung pengertian perbuatan dorongan belas kasihan yang bersifat kedermawanan atau pemberian secara sukarela. Motivasi perbuatan karitatif pada dasarnya adalah dorongan prikemanusiaan yang bersifat naluriah semata-mata. Pelayanan gereja terutama pada tindakan-tindakan karitatif atau amal berdasar pada Mat. 25:31-36. Model ini merupakan model yang dilakukan secara langsung, misalnya orang lapar diberikan makanan (roti). Diakonia ini didukung dan dipraktikkan oleh instansi gereja karena dianggap dapat memberikan manfaat langsung yang segera dapat dilihat dan tidak ada risiko sebab didukung oleh penguasa. Diakonia jenis ini merupakan produk dan perkembangan dari industrialisaasi di Eropa dan Amaerika Utara pada abad ke-19.

*      Diakonia Reformatif atau Pembangunan. Model diakonia ini lebih menekankan pembangunan. Pendekatan yang dilakukan adalah Community Development  seperti pembangunan pusat kesehatan, penyuluhan, bimas, usaha bersama simpan pinjam, dan lain-lain. Analogi model ini adalah bila ada orang lapar berikan makanan (roti, ikan) dan pacul atau kail supaya ia tidak sekedar meminta tetapi juga mengusahakan sendiri. Pada jenis ini, diakonia tidak lagi sekedar memberikan bantuan pangan dan pakaian, tetapi mulai memberikan perhatian pada penyelenggaraan kursus keterampilan, pemberian atau pinjaman modal pada kelompok masyarakat.

*      Diakonia Transformatif. Dalam perspektif ini, diakonia dimengerti sebagai tindakan Gereja melayani umat manusia secara multi-dimensional (roh, jiwa dan tubuh) dan juga multi-sektoral (ekonomi, politik, cultural, hukum dan agama). Diakonia bukan lagi sekedar tindakan-tindakan amal (walaupun perlu dan tetap dilakukan) yang dilakukan oleh Gereja melainkan tindakan-tindakan transformatif yang membawa manusia dengan sistem dan struktur kehidupannya yang menandakan datangnya Kerajaan Allah. Diakonia ini bukan hanya berarti memberi makan, minum, pakaian dan lain-lain, tetapi bagaimana bersama masyarakat memperjuangkan hak-hak hidup. Diakonia transformatif  atau pembebasan boleh digambarkan dengan gambar mata terbuka. Artinya, diakonia ini adalah pelayanan mencelikkan mata yang buta dan memampukan kaki seseorang untuk kuat berjalan sendiri.

Demikianlah secara umum uraian tentang Tugas Panggilan Gereja. Walaupun tugas panggilan tersebut dapat diuraikan menjadi tiga pokok, namun harus diketahui dan dipahami bahwa ketiga tugas Panggilan Gereja tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Dengan kata lain, di mana orang percaya bersaksi dan melayani, di sana pula ia mesti bersekutu, juga sebaliknya. Di beberapa Gereja ada lagi satu tugas yang biasa disebut, yakni; Didaskhein (Pengajaran), dalam hal ini adalah Pengajaran Agama Kristen. Tugas yang satu ini tidak kalah penting dengan tiga tugas panggilan yang disebut di atas. Pengajaran Agama Kristen adalah juga bagian yang tidak terpisahkan dari ketiga Tugas Panggilan Gereja (Bersekutu, Bersaksi dan Melayani).

II.     PENATALAYANAN / KETATALAYANAN
a.      Istilah Penatalayanan

Penatalayanan (stewardship) berarti pekerjaan menatalayani. Penatalayan adalah orang yang menatalayani, disebut juga "juru kunci". Ada beberapa contoh dari Alkitab. Dalam Kejadian 24 diterangkan bahwa Abraham mempunyai orang kepercayaan untuk mengelola harta dan urusan rumah tangganya, yaitu Eliezer. la adalah penatalayan atau juru kunci yang mengelola harta dan urusan itu sesuai dengan kehendak Abraham, pemiliknya. Pekerjaannya disebut penatalayanan. "Mengelola" berasal dari kata "kelola" yang berarti mengurus, mengatur, menyelenggarakan; orang dengan tugas itu disebut "pengelola". Penatalayan atau juru kunci ini disebut juga "kepala rumah" (Kej. 43:16,19; 44:4), "kepala istana" (Yes. 22:15), "mandur" (Mat. 20:8), "bendahara" (Luk. 16:1), "bendahara negeri" (Rm. 16:23). Paulus dkk. menyebut diri sebagai hamba-hamba Kristus yang mendapat kepercayaan mengenai rahasia Kristus (1 Kor. 4:1-2). Tugas itu harus dilaksanakan dengan jujur. Seorang penatalayan yang tidak jujur pasti dipecat/diganti (Yes. 22:15-25).

b.      Definisi Penatalayanan
Penatalayanan ialah segala kebijakan dan tindakan orang percaya dalam mengelola talenta dari Tuhan. Tuhan memanggil setiap orang Kristen supaya mengelola semua talenta pemberian Tuhan (waktu, tenaga, pikiran, uang, harta benda dll). Semua orang menerima karunia yang berbeda-beda. Tidak ada orang yang "kosong". Tuhan memberikan semua talenta untuk menatalayani pekerjaan-Nya di dunia ini. Pengelolaan itu harus sesuai dengan kehendak-Nya.
Menatalayani tidak hanya berarti membagi atau memberikan talen­ta kita untuk pekerjaan Allah sebagai ucapan syukur kepada-Nya. Mena­talayani juga berarti bagaimana kita meningkatkan kesejahteraan hidup. Kemiskinan mengakibatkan keterbatasan dalam menatalayani. Tuhan berjanji untuk memberikan kebutuhan kita. Janji itu tidak akan terlaksana secara otomatis. Kita harus menggali dan mencari berkat Tuhan itu dengan bekerja keras. Kita terbuka untuk memanfaatkan kemajuan iptek dan jasa untuk meningkatkan produktivitas kerja, seiring dengan modernisasi dan profesionalisasi. Bila kesejahteraan hidup kita meningkat, kemampuan kita untuk menatalayanan pekerjaan Tuhan di dalam gereja dan masyarakat juga meningkat.
Setiap orang percaya dipanggil supaya menjadi kawan sekerja Allah. Allah berkenan untuk bekerja di dalam kita dan melalui kita untuk membebaskan dunia ini dari dosa. Menjadi kawan sekerja-Nya berarti melaksanakan tritugas: bersekutu (koinonia), bersaksi (marturia) dan melayani (diakonia) secara seimbang dan selaras dengan memakai semua yang kita miliki.
Roh Kudus memimpin setiap orang percaya menjadi penatalayan. Tugas menatalayani hanya dapat terlaksana dengan baik apabila kita mendengar dan mengikuti Roh Kudus. Tuhan akan menghukum siapa saja yang tidak taat menatalayani pekerjaan-Nya atau menggunakan karunia itu untuk kepentingan sendiri.

c.       Prinsip-Prinsip Penatalayanan

Sebelum kita maju ke pelajaran ini, sangat penting kita memahami beberapa prinsip penatalayanan:
Prinsip 1 Semuanya Milik ALLAH - Everything Belongs to GOD (Mazmur 24:1; Hagai 2:8; Keluaran 19:5).
Prinsip 2 Penatalayanan adalah mengelola milik orang lain - Stewardship is the management of the affairs of another (Kejadian 39:1-6).
Prinsip 3 Setiap orang Kristen adalah penatalayan - Every Christian is a steward (Matius 25:14-15).
Prinsip 4 Yang diperlukan dari seorang penatalayan adalah kesetiaan - It is required of stewards that they be found faithful (1 Korintus 4:1-2).

d.      Subyek Penatalayanan

Perlu ditegaskan bahwa peran gereja sebagai lembaga itu tidak menggantikan peran pribadi warga dalam menatalayani. Setiap warga harus berperan ganda. Artinya, secara pribadi menjadi menatalayani da­lam jemaat dan masyarakat serta bersama-sama dengan warga lainnya sebagai gereja harus menatalayani pekerjaan Tuhan di dalam jemaat dan masyarakatnya.

e.       Tanggung Jawab Penatalayanan

Kita mengakui bahwa Allah mahatinggi. Pengakuan itu harus menjadi "darah daging" kita. Artinya, pengakuan itu harus menjadi motivasi, mewarnai pikiran, kehendak dan perilaku kita sebagai ucapan syukur kepada Tuhan. Allah tidak memperlakukan kita sebagai anak-anak kecil yang bodoh, tak tahu apa-apa. Dia menghendaki supaya kita bertumbuh mengejar kedewasaan Kristen. Salah satu ciri dalam proses menjadi dewasa itu ialah tanggung jawab. 
Tuhan menghendaki supaya kita menjadi hamba-hamba-Nya yang taat kepada-Nya. Wujud nyata dari ketaatan itu ialah kesediaan kita untuk bekerja melayani sesama manusia dengan menggunakan talenta yang kita terima (harta, waktu, uang, kepandaian dll). Mengaku ber-Tuhan tetapi mengabaikan sesama itu omong kosong. Allah telah menyiapkan pekerjaan yang baik buat kita (Ef. 2:10). Mengapa kita harus bekerja? Karena Allah bekerja terus (Yoh.5:17). Bila tuan bekerja tetapi hamba-hamba-Nya menganggur, tidak benar! Hidup kita bukan milik kita lagi tetapi milik Kristus. Hidup atau mati adalah untuk Tuhan (Rm. 14:8). Setiap hari kita berdoa "datanglah Kerajaan-Mu". Bersama-sama dengan Allah, kita harus bekerja agar pengharapan itu menjadi kenyataan yang sempurna.
Orang Kristen sebagai orang kepercayaan Allah seharusnya selalu dekat dengan Allah seperti hamba dekat dengan tuannya. Hubungan pribadi yang dekat membuat orang Kristen makin memahami kehendak Allah seperti hamba yang makin memahami kehendak dan rencana tuannya. Hubungan seperti itu juga membuat orang Kristen makin pandai melayani Tuhan.
Sasaran pekerjaan Allah yang besar ini adalah seluruh umat ma­nusia dan dunia. Yesus adalah teladan orang Kristen dalam menatalayani sebab la datang untuk melayani, bukan untuk dilayani (Mrk. 10:-45). Kelak Tuhan meminta setiap orang Kristen mempertanggungjawabkan uangnya, waktunya, hartanya, kemampuannya dan lainnya. "Demikianlah setiap orang di antara kita akan memberi pertanggunganjawab tentang dirinya sendiri kepada Allah" (Rm. 14:12).
Orang Kristen harus mewaspadai godaan dalam menatalayani. Di antaranya, godaan memakai uang, harta, kekayaan, kepandaian untuk kesukaan dan kenikmatan dirinya sendiri. Talenta tidak hanya dapat menjadi alat menatalayani tetapi juga dapat mencelakakan. Bila kita setia dalam hal yang kecil, Tuhan akan memperbesar kepercayaan-Nya (bnd. Mat. 25:21).
Mativasi (dorongan) dalam melayani atau menatalayani itu sangat penting. Motivasi itu menentukan semangat, suasana dan seringkali hasil-hasilnya. Motivasi yang benar dilandasi dengan:
*      Rasa syukur dan mengasihi Tuhan karena Dia telah lebih dahulu mengasihi kita. Siapa yang benar-benar mengasihi Tuhan pasti mengasihi sesamanya baik dengan perkataan, perbuatan maupun kebenaran (1 Yoh. 3:18).
*      Memuliakan Allah dalam segala sesuatu karena Yesus Kristus yang empunya kemuliaan dan kuasa selama-lamanya (1 Ptr. 4:10-11).

Kalau ada motivasi yang benar, tentu ada motivasi yang salah. Motivasi yang salah itu di antaranya karena merasa wajib, karena dibayar, karena keuntungan, karena utang budi, ambisi, ingin menonjolkan diri. Orang Kristen yang menatalayani dengan motivasi yang salah ini tidak akan memiliki sukacita melayani, gampang frustrasi atau bahkan putus asa. Mereka yang bekerja demi gaji, semangatnya akan segera kendur atau lari bila upahnya tidak terpenuhi. Hasil pekerjaannya pun tidak membawa kemajuan bahkan mungkin morat-marit atau mendatangkan bencana.

1.             Penatalayanan Injil
Penatalayanan Injil itu bukan hanya mengenai berita kesukaan ten­tang pengampunan atau keselamatan dalam Yesus, tetapi juga perintah kepada siapa saja yang menerimanya supaya memberitakannya kepada semua orang. Tugas pemberitaan ini berhubungan erat dengan tugas melayani. Paulus menyebut tugas itu sebagai "pelayanan pendamaian" (2 Kor. 5:17-20). Dengan demikian jelas bahwa pemberitaan itu menjadi tanggung jawab setiap orang Kristen, pria dan wanita segala umur. Rasul Paulus mengingatkan: "Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajamn" [2 Tim. 4:2). Bila ada orang yang berpendapat bahwa tugas tersebut adalah tugas Pendeta atau Majelis saja, pendapat itu salah. Tugas itu menjadi kewajiban semua orang Kristen.

2.             Penatalayanan Talenta / Bakat
Bacalah Matius 25:12-30
Apakah yang Tuhan berikan kepada hamba-Nya? – Talenta
Apakah setiap pelayan menerima talenta? - Ya
Apakah setiap pelayan menerima jumlah talenta yang sama? – Tidak.
Apa dasar Tuhan untuk menyalurkan tanggung jawab kepada hamba-Nya? – Kepercayaan.
Menurut ayat 19, Apa yang Tuhan lakukan ketika Dia datang kembali? – Meminta pertanggungan jawab.INI PENTING - Jangan menilai tindakan kita dengan apa yang orang lain lakukan tetapi lakukan sesuai talenta yang telah Tuhan berikan!
Apa yang Tuhan katakan kepada pelayan yang baik? - Membuatnya berkuasa atas yang lain.
Mari kita jawab dan renungkan beberapa pertanyaan berikut ini:
Apakah saya telah diberikan setidaknya satu talenta?
Apakah saya menggunakan talenta saya untuk Kristus?
Apakah saya harus memberi pertanggunganjawab talenta saya kepada Tuhan?
Apa yang akan terjadi jika saya menyalahgunakan talenta saya?
Haruskah saya kuatir tentang berapa banyak talenta yang telah diberikan?
Bacalah 1 Korintus 12:12-27. Sekarang kita adalah anggota dari tubuh Kristus (gereja). Setiap anggota gereja adalah seperti bagian dari tubuh manusia.
*      Kita masing-masing tidak sama (ayat 19).
*      Allah telah menempatkan kita di gereja ini untuk fungsi tertentu (ayat 18).
*      Setiap anggota gereja diperlukan (ayat 22).
3.             Penatalayanan Kesaksian
Selanjutnya, kita harus mencamkan bahwa bersaksi itu melibatkan seutuh kehidupan kita, lahir batin, tidak cukup dengan kata-kata. Bersaksi berarti menunjukkan kasih Allah di dalam Yesus Kristus. Melayani ber­arti mewujudnyatakan kasih Allah itu kepada sesama.
*      Filipi 2:15 - Kita harus bercahaya di tengah-tengah dunia.
*      Matius 5:14-16 - Kita harus menjadi terang yang terbuka bagi semua orang.
*      1 Petrus 3:15 - Kita harus selalu siap membawa orang lain kepada Kristus.


4.             Penatalayanan Waktu
Waktu adalah sumber daya kita yang paling berharga hari ini. Waktu kita adalah milik Allah. Mau atau tidak mau, pada saatnya kita harus mati. Hal itu karena kita tidak menguasai waktu, tidak dapat memperpanjang umur. Tuhan memberikan waktu 24 jam/hari supaya kita hargai dan kelola secara bertanggung jawab.
Dalam perumpamaan gadis-gadis yang bijaksana dan yang bodoh (Mat. 25:1-13), kita mendapat contoh orang-orang yang menghargai dan mengelola waktu secara bertanggungjawab serta yang tidak. (lih. juga perumpamaan orang kaya yang bodoh, Luk. 12:1-12). Tuhan menyuruh supaya kita menghargai dan menggunakan waktu sesuai dengan kehendak Tuhan. "Dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat" (Ef. 5:16, lih. 1 Tim. 4:2).
Dalam bahasa Yunani ada dua istilah tentang waktu. Yaitu "khro­nos" dan "kairos". Khronos ialah jangka waktu, periode atau masa tertentu. Kairos adalah waktu yang tepat. Kalau disia-siakan kita akan merugi, kairos itu hilang. Demikian juga secara umum, waktu yang disia-siakan hilang begitu saja. Jarum jam tidak berputar mundur. Paulus mengatakan: "... supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati" (Rm. 12:1). Maksudnya, supaya kita mempersem­bahkan seluruh kehidupan dan kemampuan lahir batin kita kepada Tuhan. Hidup ini harus menjadi persembahan karena Allah telah mengasihi kita. Segala kemampuan itu harus kita pergunakan untuk melayani Tuhan.
5.             Penatalayanan Uang
Semua uang yang kita miliki dan peroleh adalah bersumber dari Allah - ALL the money you have and receive IS FROM GOD and IS GOD’S. Ulangan 8:18 - Meskipun kita mendapatkan uang melalui kerja, ayat ini memberitahu kita bahwa “LORD THY GOD”. TUHAN-lah yang memberi kita kekuatan untuk mendapatkan uang.
Titik tolak dalam penatalayanan uang adalah persepuluhan. Dalam laporan singkat tampak jelas bahwa Abraham memberikan pesepuluhan kepada Melkisedek sebagai pengakuan bahwa Allah Yang Mahatinggi telah menaklukkan musuh-musuhnya. Ide ini menyatakan bahwa persepuluhan diberikan kepada wakil dari seseorang yang berada dalam posisi kepemilikan? (Baca: Ibrani 7:2; Ulangan 26:1-10; 14:22).

1 komentar: