Senin, 27 Februari 2017

Teologi agama-agama dan Pluralisme



BAB I
PENDAHULUAN

            Pluralisme akan selalu menjadi perbincangan yang terus mewacana khususnya di hadapan para akademisi selagi dunia ini masih dalam keadaan natural. Ia berangkat dari post-moderanisme yang bercorak semrawut tetapi kreatif dan berwatak merelatifkan segala apapun untuk mencapai kebenaran inheren, sebuah kebenaran yang tidak hanya dimiliki persona sebagai “yang punya”, tetapi mengakui bahwa entitas diluar dirinya memiliki hak yang sama untuk menggapai kebenaran, walaupun kebenaran yang dipersepskan entitas yang satu dengan yang lain sangat mungkin lain atau bahkan bertabrakan.
            Sepanjang sejarah, pluralisme dianggap sebagai sebua pemahaan yang euh dengan misteri. Sebab beragam komunitas dan kalangan untuk mengargumentasikan pluralisme yang sebenarnya dengan berbagai metode tertentu, sehingga sebuah substansi pluralisme masih belum dapat terbongkar secara sempurna. Hal ini terganbar di bangsa Indonesia, yang diargumentasikan oleh MUI terhadap pluralisme, mereka memahami istilah pluralisme sebagai pemahaman yang harus dimusnahkan dengan dalih paham sebagai penyamaan agama.
            Pluraliame agama adalah upaya sadar untuk tidak sejedar menghormati pemeluk agama lain, tapi ikut pula bahu membahu bersama agama lain untuk membahas, bergerak membenahi bangsa, sosial-kemasyarakatan, politik, kebudayaan hingga pada membela bangsa ketika terjadi intimidasi baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Komunikasi semacam dialog antar umat beragama dianggap penting, untuk menghindari truth claim yang selama ini menjadi sesuatu yang merisaukan.









BAB II
PEMBAHASAN

A.        Pengertian Pluralisme dan Teologi Agama

Istilah pluralisme agama masih sering disalahpahami atau mengandung pengertian yang kabur, meskipun terminologi ini begitu populer dan tampak disambut begitu hangat secara universal. Secara etimologis, pluralisme agama berasal dari dua kata yaitu pluralisme dan agama.  Pluralism berarti jama’ atau lebih dari satu. Dalam kamus bahasa Inggris mempunyai tiga pengertian. Ketiga pengertian ini bila di sederhanakan dalam satu makna, yaitu koeksistensinya berbagai kelompok atau keyakinan disatu waktu dengan tetap terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan karakteristik masing-masing.
Sementara itu definisi  agama dalam wacana pemikiran Barat telah mengundang perdebatan dan polemik yang tak berkesudahan. Sehingga sanngat sulit, bahkan hampir bisa dikatakan mustahil untuk mendapatkan definisi agama yang bisa diterima atau disepakati semua kalangan. Untuk mendefinisikan agama setidaknya bisa menggunakan tiga pendekatan. Yakni dari segi fungsi, instusi, dan substansi.
Definisi agama yang paling tepat adalah yang mencakup semua jenis agama, sekte berbagai jenis ideologi modern. Dan jika pluralisme dirangkai dengan kata agama sebagai predikatnya, maka berdasarkan pemahaman tersebut bisa dikatakan bahwa pluralisme agama adalah kondisi hidup bersama (koeksistensi) antar agama (dalam arti luas) yang berdeba-beda dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran agama masing-masing. Namun, dari segi konteks pluralisme agama sering digunakan dalam studi-studi dan wacana-wacana sosio-ilmiah pada era modern ini, istilah ini telah menemukan definisi dirinya yang sangat berbeda dengan yang dimilikinya semula.
Teologi (bahasa Yunani, theos, "Allah, Tuhan", danlogia, "kata-kata," "ucapan," atau "wacana") adalah wacana yang berdasarkan nalar mengenai agama, spiritualitas dan Tuhan. Dengan demikian, teologi adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan beragama. Teologi meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan. Para teolog berupaya menggunakan analisis dan argumen-argumen rasional untuk mendiskusikan, menafsirkan dan mengajar dalam salah satu bidang dari topik-topik agama. Teologi memampukan seseorang untuk lebih memahami tradisi keagamaannya sendiri ataupun tradisi keagamaan lainnya, menolong membuat perbandingan antara berbagai tradisi, melestarikan, memperbaharui suatu tradisi tertentu, menolong penyebaran suatu tradisi, menerapkan sumber-sumber dari suatu tradisi dalam suatu situasi atau kebutuhan masa kini, atau untuk berbagai alasan lainnya. Sedangkan makna dari teologis adalah proses perkembangan dari potensialmehuju aktualisasi diri.
Teologi agama pada dasarnya merupakan upaya dari dalam komunitas keagamaan tertentu untuk melakukan refleksi atau pemikiran yang runtut tentang kesadaran baru sebagai upaya untuk memberi respon terhadap persoalan pluralisme. Teologi agama tak lain adalah upaya refleksi teologis untuk menempatkan pluralisme sebagai pusat perhatian dan pusat persoalan.  Teologi agama harus mempunyai pijakan pada realitas. Teologi agama merupakan untuk mencari makna teologis dari pluralisme agama-agama tersebut. Dan tugas esensial dari agama adalah membuat dirinya relevan dengan keadaan, teologi agama merupakan respon kita terhadap keseluruhan masa depan masyarakat maupun agama-agama. Masa depan menjadi masa depan bersama. Dalam teologi agama kita diarahkan pada bagaimana kita tetap menjaga identitas keagamaan kita tanpa meremehkan dan bahkan bisa menghargai identitas keagamaan orang lain dan integritas agama orang lain. Perumusan teologi agamadilakukan dengan mengandaikan kehadiran orang lain tersebut dalam proses bukan menganggap orang lain tersebut absent atau bahkan non-exist. Jadi ada suatu “dialog” yang terjadi secara internal. Teologi agama harus benar-benar berpijak pada kenyataan, dikontrol, dan diawasi sehingga bisa menjadi bahan percakapan yang produktif dan membuahkan hasil yang positif.
Jadi sekarang pluralisme telah dianggap sebagai nilai dan sikap eksklusif dianggap sebagai problem. Teologi agama bertujuan untuk membangun suatu jembatan kerjasama, perspektifnya adalah mengarah pada kesimpulan yang bukan hanya prinsipal dan teoritis, melainkan menyangkut langkah nyata. Jadi teologi agamabermuara pada dua cabang yaitu dialog dan kolaborasi antar agama. Teologi agama bukan dimaksudkan untuk mengatasi perbedaan antar agama, melainkan hanya memberi makna positif terhadap agama-agama tersebut sehingga keperbedaan tersebut benar-benar secara positif diterima sebagai berkah dan anugerah Tuhan. Jadi teologi agama di Indonesia bertujuan agar gereja-gereja secara teologis merumuskan solidaritasnya, rasa hormatnya dan rasa senasib sepenanggungan untuk mengahadapi persoalan bersama pada masa depan serta bisa menjalin kerjasama yang erat antara semua orang beriman dan membentuk kerjasama yang produktif.

Pemikiran Pluralisme Keagamaan dan Teologi Agama-Agama

Pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar sebagai sebagai “kebaikan negatif” (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme. Tetapi pluralisme adalah bagian dari peralihan sejati kebinekhaan dalam ikatan-ikata keabadan. Dengan demikian agama-agama bisa menjelaskan tidak saja alasan sosiologinya tetapi juga pijakan normatif teologisnya mengapa harus menjalankan hubungan harmonis dengan agama lain.
Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban”. Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya. Dalam kitab suci justru  disebutkan bahwa Allah menciptakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan antara sesama manusia guna memelihara keutuhan bumi, dan merupakan salah satu wujud kemurahan Tuhan yang melimpah kepada umat manusia. ”Seandainya Allah tidak mengimbangi segolongan manusia dengan segolongan yang lain, maka pastilah bumi hancur, namun Allah mempunyai kemurahan yang melimpah kepada seluruh alam.”( Q,S. Al-Baqarah).
            Kutipan diatas menegaskan adanya masalah besar dalam kehidupan beragama dari paham pluralisme, ini adalah bagaimana suatu teologi dari suatu agama mendefisinikan dirinya di tengah agama-agama lain.Beberapa tokoh Pemikiran Pluralisme Keagamaan dan Teologi Agama-Agama diantaranya yaitu:
1. John Lyden, seorang ahli agama-agama, “What should one think about religions other than one’s own?” (apa yang seseorang pikirkan mengenai agama lain, dibandingkan agama sendiri? Sehingga dengan semakin berkembangnya pemahaman mengenai pluralisme dan teologi agama-agama berkembanglah suatu paham “teologi religionum” (teologi agama-agama) yang menekankan semakin pentingnya dewasa ini untuk dapat “berteologi dalam konteks agama-agama”. Jadi tujuan berteologi dalam konteks agama-agama yaitu untuk memasuki dialog antaragama, dan dengan demikian mencoba memahami cara baru yang mendalam mengenai bagaimana Tuhan mempunyai jalan penyelamatan. Pada tingkat pribadi, sebenarnya hubungan antar tokoh-tokoh agama di Indonesia suasananya semakin akrab, penuh toleransi dengan keterlibatan yang sungguh-sungguh dalam usaha memecahkan persoalan-persoalan hubungan antaragama yang ada dalam masyarakat. Tetapi pada tingkat teologis yang merupakan dasar dari agama itu muncul kebingungan-kebingungan, khususnya menyangkut bagaimana kita harus mendefinisikan diri di tengah-tengah agama lain yang juga eksis, dan punya keabsahan. Dalam persoalan ini didiskusikanlah apakah ada kebenaran dalam agama lain yang di implikasikan?, apakah ada keselamatan dalam agama lain? Pertanyaan ini sebelumnya berakar dalam pertanyaan teologis yang sangat mendasar: Apakah kita menyembah Tuhan yang sama? Dan repotnya, justru ketika kita mencoba memahami konsep ketuhanan antaragama  dan kita menganggap bahwa kita menyembah tuhan yang sama, rupanya setiap agama mempunyai konsep ketuhanan yang berbeda.
2. Hugh Goddard, seorang Kristiani ahli teologi Islam menulis sebuah buku Cristians & Muslims:From Double Standards to Mutual Understanding (1995). Dalam buku yang berisi uraian sejarah dan doktrin itu ia menyimpulkan bahwa hubungan Kristiani dan Islam  itu berkembang menjadi kesalahpahaman bahkan menimbulkan suasana saling menjadi ancaman  diantara keduanya adalah suatu kondisiadanya“standar ganda”. Maksudnya yaitu orang-orang kristiani maupun Islam selalu menerapkan standar-standar yang berbeda untuk dirinya, yang biasanya standar yang bersifat ideal dan normatif untuk agama sendiri, dan bersifat yang lebih realistis dan historis terhadap agama lain.dengan  Melalui standar ganda inilah muncul prasangka-prasangka teologis  yang selanjutnya memperkeruh suasana hubungan antarumat beragama. Sebuah buku Ahli Kitab menggabarkan standar ganda dngan menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an yaitu seperti pada Qs. Al-Maidah:13,14,72,73 dan Qs. At-Taubah:3.
            Dalam pandangan banyak ilmuwan sekular, berbagai kompleksitas hubungan antar umat beragama dengan berbagai standar ganda, klaim kebenaran dan janji penyelamatannya ini sering dianggap bukan hanya sebagai tanda ketidak kritisan dan cara berfikir agama,bahkan merupakan penyebab konflik antaragama.Dalam al-katib dikatakan bahwa cinta uang adalah akar segala kejahatan, mungkin lebih benar lagi kalau dikatakan cinta Tuhan adalah akar segala kejahatan. Agama adalah tragedi umat manusia, ia mengajak kepada yang paling luhur, paling murni, paling tinggi dalam jiwa manusia. Namun hampir tidak ada sebuah agama yang tidak ikut bertanggung jawab atas berbagai peperangan, tirani dan penindasan kebenaran. Mark menggambarkan agama sebagai candu,agama mendorong untuk mengagungkan perasaan dan pendapat mereka sendiri,dan untuk mengklaim diri mereka sendiri sebagai pemilik kebenaran.
3. Wilson dalam buku Agains Religions, Why We Should Try to Live Without It inimenunjukkan dilema dalam konflik-konflik antar negara, yang jika diringkas kir-kira: `Jika seseorang ada dalam sebuah agama, konflik dalam agama lain akan dianggap sebagai “sebuah tindakan kebenaran melawan kezaliman”. Sedang jika orang itu ada di agama lain yang dilawan itu, maka ia akan menggap sebaliknya, agamanya sendiri sebagai yang benar, melawan agama lawannya itu sebagai yang salah (dzalim). Tetapi jika seseorang berada diluar dua agama yang sedang konflik itu, ia akan melihat keduanya ada dalam kesalahan, dan ia akan menganggap bahwa konflik yang sama-sama menggunakan klaim kebenaran itu sebagai kenaifan, karena jelas keduanya salah.
Tetapi, walaupun agama tetap kukuh di tengah kritik sains modern yang begitu keras, hikmah yang dapat diambil dari perjalanan kritik sains terhadap agama ini, Adalah kebutuhan untuk lebih memperjelas apa yang disebut The Meaning and the Purpose of Life (makna dan tujuan hidup) manusia itu yang dalam agama terbungkus dalam segi-segi spiritualnya yang ternyata dari sudut pandang perennial philosophy yang menjadi alasan mengapa diturunkannya sebuah agama.


B. Pluralisme dan Teologi Agama di Indonesia

1. Latar belakang pluralisme di Indonesia

Munculnya pluralitas di indonesia dapat dilihat dari 3 persoalan, yaitu masalah teologi, masalah sejarah, dan masalah primodialisme. Pluralisme ketika berhadapan dengan teologi dalam lingkungan intern umat beragama sendiri, baik Katolik, Protestan, Islam, Hindu, Budha dan agama-agama lainnya, masih disibukkan dengan persoalan truth claim dengan melupakan aspek esoteris agama-agama yang ada.
Melihat dari sejarahnya, secara historis. Belanda sering menjadi beban sejarah yang mewarnai hubungan ini, karena Belanda selalu diidentikkan dengan Kristen dan setiap kebijakan politiknya selalu berpihak pada agama Kristen. Primodialisme juga dianggap sebagai salah satu faktor pengganjal dalam memahami persoalankebenaran universal, termasuk menghambat perkembangan pemikiran keagamaan. Sebab-sebab teori pluralisme dapat diklasifikasikan dalam dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal (ideologis) merupakan faktor yang timbul akibat tuntutan akan kebenaran yang mutlak dari agama-agama itu sendiri. Baik dalam hal akidah, sejarah maupun masalah keyakinan atau doktrin ”keterpilihan”. Keyakinan ini mulai dikenal dan menyebar luas dikalangan para pemikir dan intelektual pada dekade-dekade terakhir abad ke-20.
Faktor yang kedua yaitu faktor eksternal yang diklasifikasikan dalam dua faktor, yaitu faktor sosio-politis yang telah melahirkan sistem Negara/bangsa dan kemudian mengarah pada “globalisasi”, yang merupakan hasil praktis dari sebuah proses sosial dan politis yang berlangsung selama kurang lebih tiga abad. Faktor eksternal lainnya adalah faktor keimuan: gerakan kajian-kajian ”ilmiah” modern terhadap agama yang serig dikenal dengan studi perbandingan agama.

2. Agama dan Pluralitas Bangsa

Bangsa Indonesia merupakan bangsa dengan masyarakat majemuk. Selama ini tanah air tidak mengalami masalah yang mengakibatkan masalah yang ditimbulkan oleh perbedaan agama. Hal itu dikarenakan dari awalnya agama-agama yang pernah masuk di Indonesia melalui jalan yang damai. Dan kultural pun juga tidak pernah mengalami goncangan yang besar karena kedatangan agama-agama yang dengan cara yang damai itu tidak menghilangkan yang ada tetapi akomodatif. Dengan kerukunan umat beragama yang masih bertahan ini mampu melestarikan negara pancasila dan pembangunan tidak terganggu yang berkesinambungan dari pelita ke pelita yang lain. Idealisasi kerukunan hidup antarumat beragama dalam menghadapi masalah nasional, hendaknya semua umat beragama dapat berfikir dan tetap bersatu yang utuh dengan tujuan keberhasilan pembangunan. Karena agama itu merupakan devining factor (faktor perekat) dan uniting factor (faktor pemecah).

3. Tokoh Pluralisme Agama di Indonesia

Dua tokoh peletak dasar dan penunjang pluralisme di Indonesia yaitu Nur Cholish Madjid (Cak Nur) dan Abdurahman Wahid (Gus Dur). Cak Nur lebih dikenal sebagai pemikir, pengonsep, yang menyampaikan pluralisme melalui foum-forum dan tulisan. Sementara Gus Dur, lebih akrab dengan perjuangan gerak, bahkan aksinya hingga pada lapisan masyarakat bawah.
Pandangan Cak Nur telah mempersiapkan umat menghadapi dan memasuki era masyarakat industri dengan pola sosial gesellscgaft (patembayan) yang akan dihadapi umat Islam di Indonesia di abad dua puluh satu mendatang. Yaitu sebagai titik tolak untuk mendapatkan teori yang lebih kokoh secara ipistemologis, mempunyai makna inklusivisme yang lebih berguna, tidak hanya untuk umat Islam, tetapi juga umat agama-agama dan tradisi-tradisi religius lainnya.
Pesan tuhan dari sudut pandang Islam yaitu kitab suci Al-Quran. Al-Quran menegaskan perintah Tuhan yaitu pesan untuk selalu bertaqwa kepada Allah. Makna takwa yang dimaksud yakni, “sikap takut kepada Tuhan ,” atau sikap menjalankan perintah-NYA dan menjauhi larangan-NYA, pesan ini merupakan kesamaan esensial pesan Tuhan pada manusia yang disampaikan Nabi, yang dimaksud kesamaan disini yaitu, paham Tuhan yang Maha Esa. Problem utama manusia dalam sudut pandang Islam tentang ketuhanan yaitu politeisme (syirik).Tauhid dan Taqwa adalah dua konsep yang sangat penting dalam teologi Islam, bahkan implikasi langsung dari Islam itu sendiri (yang secara generik berarti sikap pasrah). Dan Islam ialah al-din (tunduk patuh).
Dari sudut pandang Islam,  pengertian Islam secara generik ini merupakan sumber ide universalisme, bahkan kosmopolitanisme. Sedangkan perkataan Islam itu sendri (sikap pasrah kepada Tuhan) menurut perspektif tradisional, adalah tuntutan alami (fitrah). Adapun agama tanpa sikap pasrah, agama tanpa sikap kepasrahan adalah tidak sejati. Ditegaskan dalam Al-Quran “barang siapa menuntut agama selain al-Islam, maka darinya tidak akan diterima, dan di akhirat kelak ia akan termasuk yang merugi (Q S. Ali imran/3:85).
            Ibadah (ritus) sebenarnya adalah bentuk pelembagaan iman. Implikasi yang langsung dari iman universal adalah amal shaleh, hakikat ibadah adalah menengahi iman dan amal shaleh: yang mengandung makna pendekatan pada Tuhan (taqarrub). Dalam ibadah, seseorang hamba merasakan spiritual pada Tuhannya.  Pengalaman kerohanian tersebut memunculkan rasa keberagamaan.
            Distingsi eksoteris dan esoteris adalahderajat perbedaan reaksi seseorang terhadap berbagai stimulus atau peristiwa yang berbeda-bedayang hanya dapat dicapai oleh segolongan kecil orang yang "makrifat" atau menerima pendidikan khusus, berbeda dengan yang diketahui dan difahami umum.[1][11]Ide-ide Cak Nur, terutama berkenaan dengan monoteisme (tauhid) dan sikap pasrah (al-Islam) sebagai kalimat sawa’ (kesatuan agama-agama). “Sikap pasrah” yang dijelaskan, adalah titik tolak pandangan tentang kesatuan kenabian, dan kesatuan kemanusiaan yang termasuk dari konsep ke-Maha-Esa-an Tuhan. Secara epistemologis “agama-agama” disini memang sangat problematis, karena konsep-konsep Cak Nur yang sangat kental (bahkan sepenuhnya). Untuk menjadi suatu teologi inklusif yang universal harus mampu menunjukkan adanya ide-ide yang sama dalam idiom-idiom agama-agama atau tradisi-tradisi religius lain. Dengan kata lain dirumuskan dalam bahasa filsafat umum. Ini tidak ditemukan dalam pemikiran Cak Nur (dan memang harus selalu disadari,konsep Cak Nur pertama kali adalah untuk konsumsi dan perluasan pandangan umat islam (Indonesia) yang belakangan kelihatan cenderung menyempit kearah anggapan agamanya sendiri yang paling Islami).
            Teologi inklusif hanya bersifat inklusif untuk umat Islam, tidak inklusif untuk agama lain (karena idiom Islam dipakai sebagai konsep teologi kesatuan agama-agama). Satu hal yang telah genuine telah dilakukan Cak Nur dalam tulisan-tulisan adalah di buatnya penekanan distingsi dan “esoterisme” disatu segi dan “eksoterisme” di segi lain. Adanya berbagai eksoterisme agama yang bisa disebut sebagai ajaran syariahdari abl al-qitab, pada hakikatnya mengajarkan esoterisme yang sama yakni monoteisme dan sikap pasrah (al-Islam).Tujuan dari esoterisme adalah pencapaian penerangan batin, kalangan esoterisme berkeyakinan usaha itu tidak dapat dicapai oleh akal manusia lewat diskusi, tapi melalui pengalaman kerohanian yang bersifat rasa, yang berjenjang.
            Melalui pendekatan esoterisme ini, kesatuan agama-agama ini sangat mungkin tercapai, karena semua agama bertemu dengan Tuhan, tanpa pendekatan esoterisme, suatu agama akan kehilangan cahaya abdinya (irfan) yang mengaliri semua agama yang berada dari Tuhan. Dalam firman Allah ditegaskan “Allah adalah (pemberi) cahaya (bagi) langit dan bumi.perumpamaan cahaya Allah seperti sebuah lobang yang tak tembus, yang didalamnya ada pelita besar. Pelita itu didalam kaca (dan) kaca itu seaka-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak saja hampir-hampir menerangi, walau tidak disentuh api cahaya di atas cahaya berlpis-lapis, Allah membimbing cahaya-NYA siapa yang dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpmaan, bagi manusia, dan Allah maha mengetahuai segala sesuatu”(Q. S an-Nur/24:25).

4. Dunia Agama-Agama di Indonesia

Sejak terbentuknya negara RI, maka para pendiri negara telah menunjukkan suatu kebijaksanaan yang telah menempatkan agama untuk berperan penting dalam menentukan arah kehidupan bangsa ini. Agama sebagai motivator serta landasan etik, moral dan spiritual untuk menyukseskan usaha pembangunan. Tanpa peran kunci dari agama maka dikhawatirkan ekses-ekses negatif akibat pembangunan, seperti peningkatan kejahatan, kesenjangan sosial, serta dapat mengancam kesatuan dan persatuan bangsa.
Yang dinamakan agama di Indonesia adalah agama Islam, agama Kristen Roma Khatolik, agama Kristen Protestan, agama Hindu, agama Budha danagama KongHuCu. Sedangkan yang biasa kita dengan agama suku-suku tidak termasuk dalam kategori ini dan dianggap sebagai budaya spiritual bangsa.
Atas dasar pengertian ini maka orang mengatakan sejak dahulu kala bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Tampaknya, kriteria yang mengukur pengertian agama itu berkisar pada lima hal, yakni mengandung kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, bersifat universal dalam artian bahwa ajaran dan penganutnya berlaku dan meliputi seluruh dunia, diwahyukan, mempunyai tokoh nabi dalam ajarannyadan mempunyai kitab suci. Dengan begitu tampaklah jelas bahwa agama penting bagi kehidupan bangsa telah tertuang pada Pancasila, yang didalamnya sila Ketuanan Yang Maha Esa merupakan sila pertama.[2][12]


C.    Tiga Sikap Dalam Teologi Agama-Agama

Dalam majalah Media Dakwah Edisi no 358 2005, Cak Nur menyatakan bahwa sikap dalam dialog agama atau teologi agama yaitu ada tiga. Pertama sikap ekslusif dalam melihat agama lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan bagi pengikutnya. Kedua, sikap inklusif (agama-agama lain adalah bentuk implisit agamanya sendiri). Ketiga, sikap pluralis yang bisa terekspresi dalam macam-macam rumusan, misalnya “ Agama-agama lain adalah kalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang sama”.
Sementara menurut Peter L. Berger, sikap dan perilaku seseorang terhadap agama-agama lain sangat dipengaruhi oleh pemahamannya. Dalam penelitian agama-agama, paling tidak terdapat tiga pandangan keberagaman yang kemudian menjadi cikal bakal munculnya teori-teori pluralisme, yakni ekslusivisme, inklusivisme dan pluralisme-paralelisme.
Pertama, pandangan ekslusivisme menyatakan bahwa agamanya adalah satu-satunya paling benardan menawarkan keselamatan. Dengan kata lain ekslusivisme merupakan sebuah pandangan yang berprinsip keselamatan tunggal sedemikian rupa, sehingga agama-agama selainnya dipandang sesat dan salah.
Kedua, pandangan inklusivisme yang bertolak belakang dengan pandangan ekslusivisme. Menjadi inklusif berarti percaya bahwa kebenaran tidak menjadi monopoli agama tertentu, tetapi juga ditemukan dalam agama-agama lain. Ketiga, pandangan paralelisme yang kemudian dielaborasi menjadi pendukung teologi pluralime, berpandangan bahwa setiap agama secara paralel adalah sama.





BAB III

KESIMPULAN

A.      Pengertian Pluralisme dan Teologi Agama

Pluralisme adalah koeksistensinya berbagai kelompok atau keyakinan disatu waktu dengan tetap terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan karakteristik masing-masing.Pluralisme agama adalah kondisi hidup bersama (koeksistensi) antar agama (dalam arti luas) yang berdeba-beda dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran agama masing-masing.

B.       Pluralisme dan Teologi Agama di Indonesia

1.      Latar belakang Pluralisme di Indonesia
Munculnya pluralitas di indonesia dapat dilihat dari 3 persoalan, yaitu masalah teologi, masalah sejarah, dan masalah primodialisme. Sebab-sebab teori pluralisme dapat diklasifikasikan dalam dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor yang kedua yaitu faktor eksternal yang diklasifikasikan dalam dua faktor, yaitu faktor sosio-politis dan faktor keimuan: gerakan kajian-kajian ”ilmiah” modern terhadap agama yang serig dikenal dengan studi perbandingan agama.
2.      Agama dan Bangsa Pluralitas
Idealisasi kerukunan hidup antarumat beragama dalam menghadapi masalah nasional, hendaknya semua umat beragama dapat berfikir dan tetap bersatu yang utuh dengan tujuan keberhasilan pembangunan. Karena agama itu merupakan devining factor (faktor perekat) dan uniting factor (faktor pemecah).
3.      Tokoh Pluralisme Agama di Indonesia
Dua tokoh peletak dasar dan penunjang pluralisme di Indonesia yaitu Nur Cholish Madjid (Cak Nur) dan Abdurahman Wahid (Gus Dur). Cak Nur lebih dikenal sebagai pemikir, pengonsep, yang menyampaikan pluralisme melalui foum-forum dan tulisan. Sementara Gus Dur, lebih akrab dengan perjuangan gerak, bahkan aksinya hingga pada lapisan masyarakat bawah.
Dua tokoh peletak dasar dan penunjang pluralisme di Indonesia yaitu Nur Cholish Madjid (Cak Nur) dan Abdurahman Wahid (Gus Dur). Cak Nur lebih dikenal sebagai pemikir, pengonsep, yang menyampaikan pluralisme melalui foum-forum dan tulisan. Sementara Gus Dur, lebih akrab dengan perjuangan gerak, bahkan aksinya hingga pada lapisan masyarakat bawah.Dalam perintah Tuhan yaitu berpesan untuk selalu bertaqwa kepada Allah. Makna takwa yang dimaksud yakni, “sikap takut kepada Tuhan ,” atau sikap menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya ,
Distingsi eksoteris dan esoteris adalahderajat perbedaan reaksi seseorang terhadap berbagai stimulus atau peristiwa yang berbeda-bedayang hanya dapat dicapai oleh segolongan kecil orang yang "makrifat" atau menerima pendidikan khusus, berbeda dengan yang diketahui dan difahami umum.Tujuan dari esoterisme adalah pencapaian penerangan batin, kalangan esoterisme berkeyakinan usaha itu tidak dapat dicapai oleh akal manusia llewat diskusi, tapi melalui pengalaman kerohanian yang bersifat rasa, yang berjenjang.
4.      Dunia agama-agama di indonesia
Yang dinamakan agama di Indonesia adalah agama Islam, agama Kristen Roma Khatolik, agama Kristen Protestan, agama Hindu, agama Budha dan agama KongHuCu. Sedangkan yang biasa kita dengan agama suku-suku tidak termasuk dalam kategori ini dan dianggap sebagai budaya spiritual bangsa.

C.      Tiga Sikap Dalam Teologi Agama-Agama

Dalam majalah Media Dakwah Edisi no 358 2005, Cak Nur dan Peter L. Berger, sikap dan perilaku seseorang terhadap agama-agama lain sangat dipengaruhi oleh pemahamannya. Dalam penelitian agama-agama, paling tidak terdapat tiga pandangan keberagaman yang kemudian menjadi cikal bakal munculnya teori-teori pluralisme, yakni ekslusivisme, inklusivisme dan pluralisme-paralelisme.






1 komentar:

  1. Penulis tidak mampu membedakan Pluralisme, Pluralitas, dan Pluratologi sehingga tulisan ini menjadi tidak relevan

    BalasHapus