BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Pluralisme
akan selalu menjadi perbincangan yang terus mewacana khususnya di hadapan para
akademisi selagi dunia ini masih dalam keadaan natural. Ia berangkat dari post-moderanisme
yang bercorak semrawut tetapi kreatif dan berwatak merelatifkan segala
apapun untuk mencapai kebenaran inheren, sebuah kebenaran yang tidak hanya
dimiliki persona sebagai “yang punya”, tetapi mengakui bahwa entitas diluar
dirinya memiliki hak yang sama untuk menggapai kebenaran, walaupun kebenaran
yang dipersepskan entitas yang satu dengan yang lain sangat mungkin lain atau
bahkan bertabrakan.
Sepanjang
sejarah, pluralisme dianggap sebagai sebua pemahaan yang euh dengan misteri.
Sebab beragam komunitas
dan kalangan untuk mengargumentasikan pluralisme yang sebenarnya dengan
berbagai metode tertentu, sehingga sebuah substansi pluralisme masih belum
dapat terbongkar secara sempurna. Hal ini terganbar di bangsa Indonesia, yang
diargumentasikan oleh MUI terhadap pluralisme, mereka memahami istilah
pluralisme sebagai pemahaman yang harus dimusnahkan dengan dalih paham sebagai
penyamaan agama.
Pluraliame
agama adalah upaya sadar untuk tidak sejedar menghormati pemeluk agama lain,
tapi ikut pula bahu membahu bersama agama lain untuk membahas, bergerak
membenahi bangsa, sosial-kemasyarakatan, politik, kebudayaan hingga pada
membela bangsa ketika terjadi intimidasi baik dari dalam negeri maupun luar
negeri. Komunikasi semacam dialog antar umat beragama dianggap penting, untuk
menghindari truth claim yang selama ini menjadi sesuatu yang merisaukan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pluralisme dan Teologi Agama
Istilah pluralisme agama masih
sering disalahpahami atau mengandung pengertian yang kabur, meskipun
terminologi ini begitu populer dan tampak disambut begitu hangat secara
universal. Secara etimologis, pluralisme agama berasal dari dua kata yaitu
pluralisme dan agama. Pluralism berarti
jama’ atau lebih dari satu. Dalam kamus bahasa Inggris mempunyai tiga pengertian.
Ketiga pengertian ini bila di sederhanakan dalam satu makna, yaitu
koeksistensinya berbagai kelompok atau keyakinan disatu waktu dengan tetap
terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan karakteristik masing-masing.
Sementara itu definisi
agama dalam wacana pemikiran Barat telah mengundang perdebatan dan
polemik yang tak berkesudahan. Sehingga sanngat sulit, bahkan hampir bisa
dikatakan mustahil untuk mendapatkan definisi agama yang bisa diterima atau
disepakati semua kalangan. Untuk mendefinisikan agama setidaknya bisa
menggunakan tiga pendekatan. Yakni dari segi fungsi, instusi, dan substansi.
Definisi agama yang paling tepat adalah yang mencakup semua
jenis agama, sekte berbagai jenis ideologi modern. Dan jika pluralisme
dirangkai dengan kata agama sebagai predikatnya, maka berdasarkan pemahaman
tersebut bisa dikatakan bahwa pluralisme agama adalah kondisi hidup bersama
(koeksistensi) antar agama (dalam arti luas) yang berdeba-beda dalam satu
komunitas dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran agama
masing-masing. Namun, dari segi konteks pluralisme agama sering digunakan dalam
studi-studi dan wacana-wacana sosio-ilmiah pada era modern ini, istilah ini
telah menemukan definisi dirinya yang sangat berbeda dengan yang dimilikinya
semula.
Teologi (bahasa Yunani, theos, "Allah, Tuhan", danlogia,
"kata-kata," "ucapan," atau "wacana") adalah wacana yang berdasarkan nalar mengenai agama, spiritualitas dan Tuhan. Dengan demikian, teologi adalah ilmu
yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan beragama. Teologi meliputi segala sesuatu
yang berhubungan dengan Tuhan. Para teolog berupaya menggunakan analisis dan
argumen-argumen rasional untuk mendiskusikan, menafsirkan dan mengajar dalam salah
satu bidang dari topik-topik
agama. Teologi
memampukan seseorang untuk lebih memahami tradisi keagamaannya sendiri ataupun tradisi keagamaan lainnya,
menolong membuat perbandingan antara berbagai tradisi, melestarikan,
memperbaharui suatu tradisi tertentu, menolong penyebaran suatu tradisi,
menerapkan sumber-sumber dari suatu tradisi dalam suatu situasi atau kebutuhan
masa kini, atau untuk berbagai alasan lainnya. Sedangkan makna dari teologis
adalah proses perkembangan dari potensialmehuju aktualisasi diri.
Teologi
agama pada dasarnya merupakan upaya dari dalam komunitas keagamaan tertentu
untuk melakukan refleksi atau pemikiran yang runtut tentang kesadaran baru
sebagai upaya untuk memberi respon terhadap persoalan pluralisme. Teologi agama
tak lain adalah upaya refleksi teologis untuk menempatkan pluralisme sebagai
pusat perhatian dan pusat persoalan.
Teologi agama harus mempunyai pijakan pada realitas. Teologi agama
merupakan untuk mencari makna teologis dari pluralisme agama-agama tersebut.
Dan tugas esensial dari agama adalah membuat dirinya relevan dengan keadaan,
teologi agama merupakan respon kita terhadap keseluruhan masa depan masyarakat
maupun agama-agama. Masa depan menjadi masa depan bersama. Dalam teologi agama
kita diarahkan pada bagaimana kita tetap menjaga identitas keagamaan kita tanpa
meremehkan dan bahkan bisa menghargai identitas keagamaan orang lain dan
integritas agama orang lain. Perumusan teologi agamadilakukan dengan
mengandaikan kehadiran orang lain tersebut dalam proses bukan menganggap orang
lain tersebut absent atau bahkan non-exist. Jadi ada suatu “dialog” yang
terjadi secara internal. Teologi agama harus benar-benar berpijak pada
kenyataan, dikontrol, dan diawasi sehingga bisa menjadi bahan percakapan yang
produktif dan membuahkan hasil yang positif.
Jadi
sekarang pluralisme telah dianggap sebagai nilai dan sikap eksklusif dianggap
sebagai problem. Teologi agama bertujuan untuk membangun suatu jembatan
kerjasama, perspektifnya adalah mengarah pada kesimpulan yang bukan hanya
prinsipal dan teoritis, melainkan menyangkut langkah nyata. Jadi teologi
agamabermuara pada dua cabang yaitu dialog dan kolaborasi antar agama. Teologi
agama bukan dimaksudkan untuk mengatasi perbedaan antar agama, melainkan hanya
memberi makna positif terhadap agama-agama tersebut sehingga keperbedaan
tersebut benar-benar secara positif diterima sebagai berkah dan anugerah Tuhan.
Jadi teologi agama di Indonesia bertujuan agar gereja-gereja secara teologis
merumuskan solidaritasnya, rasa hormatnya dan rasa senasib sepenanggungan untuk
mengahadapi persoalan bersama pada masa depan serta bisa menjalin kerjasama
yang erat antara semua orang beriman dan membentuk kerjasama yang produktif.
Pemikiran Pluralisme Keagamaan dan Teologi Agama-Agama
Pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan
bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan
agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme.
Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar sebagai sebagai “kebaikan negatif”
(negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme.
Tetapi pluralisme adalah bagian dari peralihan sejati kebinekhaan dalam
ikatan-ikata keabadan. Dengan demikian agama-agama bisa menjelaskan tidak saja
alasan sosiologinya tetapi juga pijakan normatif teologisnya mengapa harus
menjalankan hubungan harmonis dengan agama lain.
Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati
kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban”. Bahkan pluralisme adalah juga suatu
keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme
pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya. Dalam kitab suci justru disebutkan bahwa Allah menciptakan mekanisme
pengawasan dan pengimbangan antara sesama manusia guna memelihara keutuhan
bumi, dan merupakan salah satu wujud kemurahan Tuhan yang melimpah kepada umat
manusia. ”Seandainya Allah tidak mengimbangi segolongan manusia dengan
segolongan yang lain, maka pastilah bumi hancur, namun Allah mempunyai
kemurahan yang melimpah kepada seluruh alam.”( Q,S. Al-Baqarah).
Kutipan diatas menegaskan adanya
masalah besar dalam kehidupan beragama dari paham pluralisme, ini adalah
bagaimana suatu teologi dari suatu agama mendefisinikan dirinya di tengah
agama-agama lain.Beberapa tokoh Pemikiran Pluralisme Keagamaan dan Teologi
Agama-Agama diantaranya yaitu:
1. John Lyden, seorang ahli
agama-agama, “What should one think about religions other than one’s own?”
(apa yang seseorang pikirkan mengenai agama lain, dibandingkan agama sendiri?
Sehingga dengan semakin berkembangnya pemahaman mengenai pluralisme dan teologi
agama-agama berkembanglah suatu paham “teologi religionum” (teologi
agama-agama) yang menekankan semakin pentingnya dewasa ini untuk dapat
“berteologi dalam konteks agama-agama”. Jadi tujuan berteologi dalam konteks
agama-agama yaitu untuk memasuki dialog antaragama, dan dengan demikian mencoba
memahami cara baru yang mendalam mengenai bagaimana Tuhan mempunyai jalan
penyelamatan. Pada tingkat pribadi, sebenarnya hubungan antar tokoh-tokoh agama
di Indonesia suasananya semakin akrab, penuh toleransi dengan keterlibatan yang
sungguh-sungguh dalam usaha memecahkan persoalan-persoalan hubungan antaragama
yang ada dalam masyarakat. Tetapi pada tingkat teologis yang merupakan dasar
dari agama itu muncul kebingungan-kebingungan, khususnya menyangkut bagaimana
kita harus mendefinisikan diri di tengah-tengah agama lain yang juga eksis, dan
punya keabsahan. Dalam persoalan ini didiskusikanlah apakah ada kebenaran dalam
agama lain yang di implikasikan?, apakah ada keselamatan dalam agama lain?
Pertanyaan ini sebelumnya berakar dalam pertanyaan teologis yang sangat
mendasar: Apakah kita menyembah Tuhan yang sama? Dan repotnya, justru ketika
kita mencoba memahami konsep ketuhanan antaragama dan kita menganggap bahwa kita menyembah
tuhan yang sama, rupanya setiap agama mempunyai konsep ketuhanan yang berbeda.
2. Hugh Goddard, seorang Kristiani ahli
teologi Islam menulis sebuah buku Cristians & Muslims:From Double
Standards to Mutual Understanding (1995). Dalam buku yang berisi uraian
sejarah dan doktrin itu ia menyimpulkan bahwa hubungan Kristiani dan Islam itu berkembang menjadi kesalahpahaman bahkan
menimbulkan suasana saling menjadi ancaman
diantara keduanya adalah suatu kondisiadanya“standar ganda”. Maksudnya
yaitu orang-orang kristiani maupun Islam selalu menerapkan standar-standar yang
berbeda untuk dirinya, yang biasanya standar yang bersifat ideal dan normatif
untuk agama sendiri, dan bersifat yang lebih realistis dan historis terhadap
agama lain.dengan Melalui standar ganda
inilah muncul prasangka-prasangka teologis
yang selanjutnya memperkeruh suasana hubungan antarumat beragama. Sebuah
buku Ahli Kitab menggabarkan standar ganda dngan menggunakan ayat-ayat
Al-Qur’an yaitu seperti pada Qs. Al-Maidah:13,14,72,73 dan Qs. At-Taubah:3.
Dalam pandangan banyak ilmuwan
sekular, berbagai kompleksitas hubungan antar umat beragama dengan berbagai
standar ganda, klaim kebenaran dan janji penyelamatannya ini sering dianggap
bukan hanya sebagai tanda ketidak kritisan dan cara berfikir agama,bahkan
merupakan penyebab konflik antaragama.Dalam al-katib dikatakan bahwa cinta uang
adalah akar segala kejahatan, mungkin lebih benar lagi kalau dikatakan cinta
Tuhan adalah akar segala kejahatan. Agama adalah tragedi umat manusia, ia
mengajak kepada yang paling luhur, paling murni, paling tinggi dalam jiwa
manusia. Namun hampir tidak ada sebuah agama yang tidak ikut bertanggung jawab
atas berbagai peperangan, tirani dan penindasan kebenaran. Mark menggambarkan
agama sebagai candu,agama mendorong untuk mengagungkan perasaan dan pendapat
mereka sendiri,dan untuk mengklaim diri mereka sendiri sebagai pemilik
kebenaran.
3. Wilson dalam buku Agains
Religions, Why We Should Try to Live Without It inimenunjukkan dilema dalam
konflik-konflik antar negara, yang jika diringkas kir-kira: `Jika seseorang ada
dalam sebuah agama, konflik dalam agama lain akan dianggap sebagai “sebuah
tindakan kebenaran melawan kezaliman”. Sedang jika orang itu ada di agama lain
yang dilawan itu, maka ia akan menggap sebaliknya, agamanya sendiri sebagai
yang benar, melawan agama lawannya itu sebagai yang salah (dzalim). Tetapi jika
seseorang berada diluar dua agama yang sedang konflik itu, ia akan melihat
keduanya ada dalam kesalahan, dan ia akan menganggap bahwa konflik yang
sama-sama menggunakan klaim kebenaran itu sebagai kenaifan, karena jelas keduanya
salah.
Tetapi, walaupun agama tetap kukuh di tengah kritik sains
modern yang begitu keras, hikmah yang dapat diambil dari perjalanan kritik
sains terhadap agama ini, Adalah kebutuhan untuk lebih memperjelas apa yang
disebut The Meaning and the Purpose of Life (makna dan tujuan hidup)
manusia itu yang dalam agama terbungkus dalam segi-segi spiritualnya yang
ternyata dari sudut pandang perennial philosophy yang menjadi alasan
mengapa diturunkannya sebuah agama.
B.
Pluralisme dan Teologi Agama di Indonesia
1. Latar
belakang pluralisme di Indonesia
Munculnya pluralitas di indonesia
dapat dilihat dari 3 persoalan, yaitu masalah teologi, masalah sejarah, dan
masalah primodialisme. Pluralisme ketika berhadapan dengan teologi dalam
lingkungan intern umat beragama sendiri, baik Katolik, Protestan, Islam, Hindu,
Budha dan agama-agama lainnya, masih disibukkan dengan persoalan truth claim
dengan melupakan aspek esoteris agama-agama yang ada.
Melihat dari sejarahnya, secara
historis. Belanda sering menjadi beban sejarah yang mewarnai hubungan ini,
karena Belanda selalu diidentikkan dengan Kristen dan setiap kebijakan
politiknya selalu berpihak pada agama Kristen. Primodialisme juga dianggap
sebagai salah satu faktor pengganjal dalam memahami persoalankebenaran
universal, termasuk menghambat perkembangan pemikiran keagamaan. Sebab-sebab
teori pluralisme dapat diklasifikasikan dalam dua faktor yaitu faktor internal
dan faktor eksternal. Faktor internal (ideologis) merupakan faktor yang timbul
akibat tuntutan akan kebenaran yang mutlak dari agama-agama itu sendiri. Baik
dalam hal akidah, sejarah maupun masalah keyakinan atau doktrin ”keterpilihan”.
Keyakinan ini mulai dikenal dan menyebar luas dikalangan para pemikir dan
intelektual pada dekade-dekade terakhir abad ke-20.
Faktor yang kedua yaitu faktor
eksternal yang diklasifikasikan dalam dua faktor, yaitu faktor sosio-politis
yang telah melahirkan sistem Negara/bangsa dan kemudian mengarah pada “globalisasi”,
yang merupakan hasil praktis dari sebuah proses sosial dan politis yang
berlangsung selama kurang lebih tiga abad. Faktor eksternal lainnya adalah
faktor keimuan: gerakan kajian-kajian ”ilmiah” modern terhadap agama yang serig
dikenal dengan studi perbandingan agama.
2. Agama dan Pluralitas Bangsa
Bangsa Indonesia merupakan bangsa dengan masyarakat majemuk.
Selama ini tanah air tidak mengalami masalah yang mengakibatkan masalah yang
ditimbulkan oleh perbedaan agama. Hal itu dikarenakan dari awalnya agama-agama
yang pernah masuk di Indonesia melalui jalan yang damai. Dan kultural pun juga
tidak pernah mengalami goncangan yang besar karena kedatangan agama-agama yang
dengan cara yang damai itu tidak menghilangkan yang ada tetapi akomodatif.
Dengan kerukunan umat beragama yang masih bertahan ini mampu melestarikan
negara pancasila dan pembangunan tidak terganggu yang berkesinambungan dari
pelita ke pelita yang lain. Idealisasi kerukunan hidup antarumat beragama dalam
menghadapi masalah nasional, hendaknya semua umat beragama dapat berfikir dan
tetap bersatu yang utuh dengan tujuan keberhasilan pembangunan. Karena agama
itu merupakan devining factor (faktor perekat) dan uniting factor
(faktor pemecah).
3. Tokoh Pluralisme Agama di Indonesia
Dua tokoh peletak dasar dan
penunjang pluralisme di Indonesia yaitu Nur Cholish Madjid (Cak Nur) dan
Abdurahman Wahid (Gus Dur). Cak Nur lebih dikenal sebagai pemikir, pengonsep,
yang menyampaikan pluralisme melalui foum-forum dan tulisan. Sementara Gus Dur,
lebih akrab dengan perjuangan gerak, bahkan aksinya hingga pada lapisan
masyarakat bawah.
Pandangan Cak Nur telah mempersiapkan umat menghadapi dan
memasuki era masyarakat industri dengan pola sosial gesellscgaft (patembayan) yang akan dihadapi umat Islam di
Indonesia di abad dua puluh satu mendatang. Yaitu sebagai titik tolak untuk
mendapatkan teori yang lebih kokoh secara ipistemologis, mempunyai makna
inklusivisme yang lebih berguna, tidak hanya untuk umat Islam, tetapi juga umat
agama-agama dan tradisi-tradisi religius lainnya.
Pesan tuhan dari sudut pandang Islam yaitu kitab suci
Al-Quran. Al-Quran menegaskan perintah Tuhan yaitu pesan untuk selalu bertaqwa
kepada Allah. Makna takwa yang dimaksud yakni, “sikap takut kepada Tuhan ,”
atau sikap menjalankan perintah-NYA dan menjauhi larangan-NYA, pesan ini
merupakan kesamaan esensial pesan Tuhan pada manusia yang disampaikan Nabi,
yang dimaksud kesamaan disini yaitu, paham Tuhan yang Maha Esa. Problem utama
manusia dalam sudut pandang Islam tentang ketuhanan yaitu politeisme (syirik).Tauhid dan Taqwa adalah dua
konsep yang sangat penting dalam teologi Islam, bahkan implikasi langsung dari
Islam itu sendiri (yang secara generik berarti sikap pasrah). Dan Islam ialah
al-din (tunduk patuh).
Dari sudut pandang Islam,
pengertian Islam secara generik ini merupakan sumber ide universalisme,
bahkan kosmopolitanisme. Sedangkan perkataan Islam itu sendri (sikap pasrah
kepada Tuhan) menurut perspektif tradisional, adalah tuntutan alami (fitrah). Adapun agama tanpa sikap
pasrah, agama tanpa sikap kepasrahan adalah tidak sejati. Ditegaskan dalam
Al-Quran “barang siapa menuntut agama selain al-Islam, maka darinya tidak akan diterima, dan di akhirat kelak ia
akan termasuk yang merugi (Q S. Ali imran/3:85).
Ibadah
(ritus) sebenarnya adalah bentuk
pelembagaan iman. Implikasi yang langsung dari iman universal adalah amal
shaleh, hakikat ibadah adalah menengahi iman dan amal shaleh: yang mengandung
makna pendekatan pada Tuhan (taqarrub).
Dalam ibadah, seseorang hamba merasakan spiritual pada Tuhannya. Pengalaman kerohanian tersebut memunculkan
rasa keberagamaan.
Distingsi eksoteris dan esoteris
adalahderajat perbedaan
reaksi seseorang terhadap berbagai stimulus atau peristiwa yang berbeda-bedayang hanya dapat dicapai oleh segolongan kecil orang yang
"makrifat" atau menerima pendidikan khusus, berbeda dengan yang diketahui dan difahami umum.[1][11]Ide-ide Cak Nur, terutama berkenaan
dengan monoteisme (tauhid) dan sikap pasrah (al-Islam) sebagai kalimat sawa’ (kesatuan agama-agama). “Sikap
pasrah” yang dijelaskan, adalah titik tolak pandangan tentang kesatuan
kenabian, dan kesatuan kemanusiaan yang termasuk dari konsep ke-Maha-Esa-an
Tuhan. Secara epistemologis “agama-agama” disini memang sangat problematis,
karena konsep-konsep Cak Nur yang sangat kental (bahkan sepenuhnya). Untuk
menjadi suatu teologi inklusif yang universal harus mampu menunjukkan adanya
ide-ide yang sama dalam idiom-idiom agama-agama atau tradisi-tradisi religius
lain. Dengan kata lain dirumuskan dalam bahasa filsafat umum. Ini tidak
ditemukan dalam pemikiran Cak Nur (dan memang harus selalu disadari,konsep Cak
Nur pertama kali adalah untuk konsumsi dan perluasan pandangan umat islam
(Indonesia) yang belakangan kelihatan cenderung menyempit kearah anggapan
agamanya sendiri yang paling Islami).
Teologi inklusif hanya bersifat
inklusif untuk umat Islam, tidak inklusif untuk agama lain (karena idiom Islam
dipakai sebagai konsep teologi kesatuan agama-agama). Satu hal yang telah genuine telah dilakukan Cak Nur dalam
tulisan-tulisan adalah di buatnya penekanan distingsi dan “esoterisme” disatu
segi dan “eksoterisme” di segi lain. Adanya berbagai eksoterisme agama
yang bisa disebut sebagai ajaran syariahdari abl al-qitab, pada
hakikatnya mengajarkan esoterisme yang sama yakni monoteisme dan sikap
pasrah (al-Islam).Tujuan dari esoterisme
adalah pencapaian penerangan batin, kalangan esoterisme berkeyakinan
usaha itu tidak dapat dicapai oleh akal manusia lewat diskusi, tapi melalui
pengalaman kerohanian yang bersifat rasa, yang berjenjang.
Melalui pendekatan esoterisme
ini, kesatuan agama-agama ini sangat mungkin tercapai, karena semua agama bertemu
dengan Tuhan, tanpa pendekatan esoterisme, suatu agama akan kehilangan cahaya
abdinya (irfan) yang mengaliri semua agama yang berada dari Tuhan. Dalam firman
Allah ditegaskan “Allah adalah (pemberi)
cahaya (bagi) langit dan bumi.perumpamaan cahaya Allah seperti sebuah lobang
yang tak tembus, yang didalamnya ada pelita besar. Pelita itu didalam kaca
(dan) kaca itu seaka-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang
dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun
yang tumbuh tidak saja hampir-hampir menerangi, walau tidak disentuh api cahaya
di atas cahaya berlpis-lapis, Allah membimbing cahaya-NYA siapa yang dia
kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpmaan, bagi manusia, dan Allah
maha mengetahuai segala sesuatu”(Q. S an-Nur/24:25).
4. Dunia Agama-Agama di Indonesia
Sejak terbentuknya negara RI, maka
para pendiri negara telah menunjukkan suatu kebijaksanaan yang telah
menempatkan agama untuk berperan penting dalam menentukan arah kehidupan bangsa
ini. Agama sebagai motivator serta landasan etik, moral dan spiritual untuk
menyukseskan usaha pembangunan. Tanpa peran kunci dari agama maka dikhawatirkan
ekses-ekses negatif akibat pembangunan, seperti peningkatan kejahatan,
kesenjangan sosial, serta dapat mengancam kesatuan dan persatuan bangsa.
Yang dinamakan agama di Indonesia
adalah agama Islam, agama Kristen Roma Khatolik, agama Kristen Protestan, agama
Hindu, agama Budha danagama KongHuCu. Sedangkan yang biasa kita dengan agama
suku-suku tidak termasuk dalam kategori ini dan dianggap sebagai budaya
spiritual bangsa.
Atas dasar pengertian ini maka orang
mengatakan sejak dahulu kala bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang
religius. Tampaknya, kriteria yang mengukur pengertian agama itu berkisar pada
lima hal, yakni mengandung kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, bersifat
universal dalam artian bahwa ajaran dan penganutnya berlaku dan meliputi
seluruh dunia, diwahyukan, mempunyai tokoh nabi dalam ajarannyadan mempunyai
kitab suci. Dengan begitu tampaklah jelas bahwa agama penting bagi kehidupan
bangsa telah tertuang pada Pancasila, yang didalamnya sila Ketuanan Yang Maha
Esa merupakan sila pertama.[2][12]
C. Tiga Sikap Dalam Teologi Agama-Agama
Dalam majalah Media Dakwah Edisi no
358 2005, Cak Nur menyatakan bahwa sikap dalam dialog agama atau teologi agama
yaitu ada tiga. Pertama sikap ekslusif dalam melihat agama lain adalah jalan
yang salah, yang menyesatkan bagi pengikutnya. Kedua, sikap inklusif
(agama-agama lain adalah bentuk implisit agamanya sendiri). Ketiga, sikap
pluralis yang bisa terekspresi dalam macam-macam rumusan, misalnya “
Agama-agama lain adalah kalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang
sama”.
Sementara menurut Peter L. Berger,
sikap dan perilaku seseorang terhadap agama-agama lain sangat dipengaruhi oleh
pemahamannya. Dalam penelitian agama-agama, paling tidak terdapat tiga
pandangan keberagaman yang kemudian menjadi cikal bakal munculnya teori-teori
pluralisme, yakni ekslusivisme, inklusivisme dan pluralisme-paralelisme.
Pertama, pandangan ekslusivisme
menyatakan bahwa agamanya adalah satu-satunya paling benardan menawarkan
keselamatan. Dengan kata lain ekslusivisme merupakan sebuah pandangan yang
berprinsip keselamatan tunggal sedemikian rupa, sehingga agama-agama selainnya dipandang
sesat dan salah.
Kedua, pandangan inklusivisme yang
bertolak belakang dengan pandangan ekslusivisme. Menjadi inklusif berarti
percaya bahwa kebenaran tidak menjadi monopoli agama tertentu, tetapi juga
ditemukan dalam agama-agama lain. Ketiga, pandangan paralelisme yang kemudian
dielaborasi menjadi pendukung teologi pluralime, berpandangan bahwa setiap
agama secara paralel adalah sama.
BAB III
KESIMPULAN
A.
Pengertian Pluralisme dan Teologi
Agama
Pluralisme adalah koeksistensinya berbagai kelompok atau
keyakinan disatu waktu dengan tetap terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan
karakteristik masing-masing.Pluralisme agama adalah kondisi hidup bersama
(koeksistensi) antar agama (dalam arti luas) yang berdeba-beda dalam satu
komunitas dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran agama
masing-masing.
B.
Pluralisme dan Teologi Agama di
Indonesia
1.
Latar
belakang Pluralisme di Indonesia
Munculnya pluralitas di indonesia dapat dilihat dari 3
persoalan, yaitu masalah teologi, masalah sejarah, dan masalah primodialisme.
Sebab-sebab teori pluralisme dapat diklasifikasikan dalam dua faktor yaitu
faktor internal dan faktor eksternal. Faktor yang kedua yaitu faktor eksternal
yang diklasifikasikan dalam dua faktor, yaitu faktor sosio-politis dan faktor
keimuan: gerakan kajian-kajian ”ilmiah” modern terhadap agama yang serig
dikenal dengan studi perbandingan agama.
2.
Agama
dan Bangsa Pluralitas
Idealisasi kerukunan hidup antarumat beragama dalam
menghadapi masalah nasional, hendaknya semua umat beragama dapat berfikir dan
tetap bersatu yang utuh dengan tujuan keberhasilan pembangunan. Karena agama
itu merupakan devining factor (faktor perekat) dan uniting factor
(faktor pemecah).
3.
Tokoh
Pluralisme Agama di Indonesia
Dua tokoh peletak dasar dan penunjang pluralisme di
Indonesia yaitu Nur Cholish Madjid (Cak Nur) dan Abdurahman Wahid (Gus Dur).
Cak Nur lebih dikenal sebagai pemikir, pengonsep, yang menyampaikan pluralisme
melalui foum-forum dan tulisan. Sementara Gus Dur, lebih akrab dengan
perjuangan gerak, bahkan aksinya hingga pada lapisan masyarakat bawah.
Dua tokoh peletak dasar dan penunjang pluralisme di
Indonesia yaitu Nur Cholish Madjid (Cak Nur) dan Abdurahman Wahid (Gus Dur).
Cak Nur lebih dikenal sebagai pemikir, pengonsep, yang menyampaikan pluralisme
melalui foum-forum dan tulisan. Sementara Gus Dur, lebih akrab dengan
perjuangan gerak, bahkan aksinya hingga pada lapisan masyarakat bawah.Dalam
perintah Tuhan yaitu berpesan untuk selalu bertaqwa kepada Allah. Makna takwa
yang dimaksud yakni, “sikap takut kepada Tuhan ,” atau sikap menjalankan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya ,
Distingsi eksoteris dan esoteris adalahderajat perbedaan
reaksi seseorang terhadap berbagai stimulus atau peristiwa yang berbeda-bedayang hanya dapat dicapai oleh segolongan kecil orang yang
"makrifat" atau menerima pendidikan khusus, berbeda dengan yang diketahui dan difahami umum.Tujuan dari esoterisme adalah pencapaian penerangan batin,
kalangan esoterisme berkeyakinan usaha itu tidak dapat dicapai oleh akal
manusia llewat diskusi, tapi melalui pengalaman kerohanian yang bersifat rasa,
yang berjenjang.
4.
Dunia
agama-agama di indonesia
Yang dinamakan agama di Indonesia adalah agama Islam, agama
Kristen Roma Khatolik, agama Kristen Protestan, agama Hindu, agama Budha dan
agama KongHuCu. Sedangkan yang biasa kita dengan agama suku-suku tidak termasuk
dalam kategori ini dan dianggap sebagai budaya spiritual bangsa.
C. Tiga Sikap Dalam Teologi Agama-Agama
Dalam majalah Media Dakwah Edisi no
358 2005, Cak Nur dan Peter L. Berger, sikap dan perilaku seseorang terhadap
agama-agama lain sangat dipengaruhi oleh pemahamannya. Dalam penelitian
agama-agama, paling tidak terdapat tiga pandangan keberagaman yang kemudian
menjadi cikal bakal munculnya teori-teori pluralisme, yakni ekslusivisme,
inklusivisme dan pluralisme-paralelisme.
Penulis tidak mampu membedakan Pluralisme, Pluralitas, dan Pluratologi sehingga tulisan ini menjadi tidak relevan
BalasHapus