Senin, 06 Maret 2017

Tafsiran kitab Wahyu 21:9 - 22:5



Analisis Historis
   1.      Penulis
Si pengarang memperkenalkan dirinya kepada si pembaca dengan nama Yohanes (1:1; 22:80). Ia tidak menulis secara anonim, seperti yang dilakukan oleh penulis apokalipsis lainnya. Pertanyaannya siapakah Yohanes si penglihat ini? Dari sejak abad ke-2 tradisi Gereja mengidentifikasikan sang Pengarang adalah Yohanes anak Zebedeus. Sering diduga juga pengarang adalah Yohanes sang penatua yang sama, yang aktif di Asia Kecil (Papias). Tetapi teori ini diragukan, karena sama sekali tidak pasti bahwa orang demikian memang pernah ada. Maka sejauh berhubungan dengan kita – (tetapi bukan para pembacanya) – si pengarang Wahyu tetap anonim, kendatipun kita mengetahui namanya.[1]
Sebagai penerima Wahyu ini beberapa kali disebut Yohanes pengarangnya (1:4; 22:8); adakalahnya dengan keterangan seperti: hamba (1:1) dan saudara dan sekutumu dalam kesusahan, dalam penantian pada Yesus (1:9). Tetapi tidak ada keterangan “rasul” atau “penatua”. Pada pihak lain, gelombang penyangkalan sudah mulai mereda juga: tak sedikit ahli yang mengakui Rasul Yohanes sebagai pengarang.[2]
Simon menulis dalam bukunya bahwa pengarang kitab Wahyu dalam catatan Perjanjian Baru setidaknya lima orang bernama Yohanes: Yohanes Pembaptis, Yohanes anak Zebedeus, ayah Simon Petrus (Yoh. 21:15-17), Yohanes Markus (Kis. 12:12) dan Yohanes yang termasuk keturunan imam besar (Kis. 4:6).[3]
Jadi, dalam hal penulis kitab Wahyu ini kelompok kami menyimpulkan bahwa penulis kitab Wahyu masih tetap anonym, walaupun sudah diketahui namanya.



    2.      Alamat Surat
Surat ini di alamatkan kepada ketujuh jemaat di Asia Kecil: Efesus (2:1-7), Smirna (2:8-11), Pergamus (2:12-17), Tiatira (2:18-29), Sardis (3:1-6), Filadelfia (3:7-13), Laodikia (3:14-22). Tetapi setiap orang pernah mendengar juga bahwa maksud kitab ini tidak terbatas kepada ketujuh jemaat ini, tetapi meliputi gereja dari segala abad dan segala tempat.[4]

    3.      Waktu Penulisan
Semua orang yang menerima Rasul Yohanes selaku pegarang, setuju bahwa kitab ini diwahyukan atau ditulis pada akhir pemerintahan Kaisar Domitianus (81-96 M), jadi kira-kira tahun 93-95 M.[5] Menurut Irenaeus Yohanes menulis kitab Wahyu selama pemerintahan Kaisar Domitianus (81-96 M).[6]
Sulit bagi kita untuk mengusulkan waktu penulisannya, karena dalam karya ini ada sejumlah petunjuk yang dapat ditafsirkan mengacu kepada beraneka peristiwa historis. Karena pengarang telah menoleh kebelakang kepada penganiayaan-penganiayaan yang telah terjadi dan masih terjadi dengan lebih dasyat lagi, tampaknya cukup masuk akal bila kita menyimpulkan bahwa karya ini ditulis pada saat semakin parahnya keadaan orang-orang Kristen. Demikianlah kejadiannya pada waktu Domitianus (81-98 M) yang memerintahkan pendirian patung-patungnya sendiri banyak tempat di Kekaisaran itu – di Efesus, misalnya – dan melalui patung itulah penghormatan kepada Kaisar harus diberikan.[7]
Jadi, untuk waktu penulisan kitab Wahyu ini, kelompok kami mengambil kesimpulan bahwa kitab Wahyu ini ditulis pada masa pemerintahan Kaisar Domitianus sekitar tahun 81-96 M.


    4.      Tempat Penulisan
Tentang tempat, dalam 1:9 ditulis ‘Aku berada di pulau yang bernama Patmos, oleh karena firman Allah dan kesaksian yang diberikan oleh Yesus”. Kebanyakan dari ahli-ahli yang menerima kitab ini selaku kitab asli, pun menerima kesaksian itu. Jadi, pengarangnya dibuang karena Injil ke tempat pengasingan. Patmos ialah suatu pulau kecil (5x10 km), yang terletak bertentangan dengan pantai barat Asia Kecil, sedikit ke sebelah selatan.[8]
Si pengarang menempatkan penglihatannya dan panggilannya di Patmos, sebuah pulau kecil di lepas pantai barat Asia Kecil (1:9) agaknya mungkin bahwa ia juga menuliskan karyanya di sana. Dukungan tak langsung terhadap pendapat ini juga dapat dilihat karena pulau ini digunakan oleh orang-orang Romawi sebagai tempat pembuangan.[9]

    5.      Situasi Penulisan
Di sepanjang Kitab Wahyu, Yohanes menyinggung penganiayaan yang umat Allah hadapi. Ia sendiri dibuang ke Patmos “karena Firman Allah dan kesaksian Yesus” (1:9). Ia memberi tahu jemaat Smirna, “iblis akan melemparkan beberapa orang dari antaramu ke dalam penjara supaya kamu akan dicobai, dan kamu akan beroleh kesusahan selama sepuluh hari (2:10). Ia berbicara tentang orang kudus yang dibunuh (2:13; 6:9-10; 16:6; 17:6; 18:24; 19:2; 20:4), dan memperingati jemaat akan hari pencobaan (3:10). Nero adalah Kaisar yang melampiaskan amarahnya pada orang Kristen di Roma dengan membunuh mereka. Kaisar Domitianus juga dikenal sebagai penganiaya umat Allah.
Paulus mencatat salah satu pengakuan iman Kristen mula-mula, “Yesus adalah Tuhan” (1 Kor 12:3). Deklarasi ini langsung berlawanan dengan pengakuan orang Roma bahwa “Kaisar adalah Tuhan.” Bagi pemerintah Romawi, penolakan untuk menerima pengakuan mereka adalah tanda pembangkangan terhadap Kaisar dan negara. Menolak otoritas tertinggi di dalam kekaisaran berarti pengkhianatan dan bisa dijatuhi hukuman mati atau dibuang. Bagi orang Kristen, otoritas tertinggi di sorga dan bumi adalah Tuhan Yesus Kristus. Menyembah Kaisar berarti menyangkal Tuan yang menebus mereka.[10]
Dalam penulisan kitab Wahyu pada masa Kaisar Domitianus (81-96 M) menuntut semua warga kerajaannya harus menyembah dia sebagai ujian kesetiaan politis mereka. Dengan sendirinya, orang-orang Kristen tidak ingin menjadi warga-warga yang tidak setia tetapi mereka tidak bersedia menyembah kaisar. Sebagai akibatnya, banyak di antara mereka dianiaya dan diburu untuk dibunuh karena dianggap musuh negara.[11]

    6.      Maksud dan Tujuan
Surat bagi ketujuh jemaat banyak menyingkapkan kondisi internal mereka sehingga kita bisa dengan cukup akurat memastikan maksud penulis. Sebagai nabi sejati, ia harus mencatat tantangan yang ia terima dari Tuhan dan diteruskan seperti yang diperintahkan kepadanya (1:11). Tema penting surat bagi sebagian besar jemaat adalah nasihat. Siapa bertelinga diundang untuk mendengar, seperti dipaparkan oleh rumusan di akhir setiap surat. Selain itu, setiap pesan berakhir dengan janji. Jadi, tujuan yang sangat praktis telah begitu nyata sejak awal kitab wahyu.
Keyakinan bahwa kekristenan akan meraih kemenangan ultima atas semua musuh menyatakan optimism luar biasa, karena pada waktu itu kuasa kekaisaran roma sedang meningkat, sedangkan secara proporsi, orang Kristen masih sangat sedikit. Sumber Wahyu menyatakan pengharapan yang secara khusus di adaptasi bagi mereka yang sedang menghadapi atau yang sadar bahwa mereka akan segera di panggil untuk menghadapi, pencobaan yang berat.
Tetapi kitab Wahyu juga memperingatkan mereka yang tidak menyadari mendekatnya ancaman atau yang tidak siap menghadapi pecahnya badai. Mereka perlu disadarkan tentang natur sejati dari kuasa kekaisaran khususnya jika kitab Wahyu ditulis ketika kaisar menuntut untuk disembah. Tidak ada orang yang pernah mendengar kitab wahyu dibacakan yang bisa meragukan isu apa yang dipertarukan dan semua kompromi harus di singkirkan.
Karena kitab wahyu melukiskan menangnya kebenaran akan kejahatan dan tunduknya segala sesuatu kepada Allah, Charles menyebut kitab ini “kitab undang-undang ilahi tentang hukum internasional,” dan ketajaman dalam sebutan itu. Di zaman intrik politik, kitab Wahyu mendukung keyakinan bahwa semua pemerintah yang sejati berasal dan di topang dari Allah. Hal ini didasari oleh kepastian kemenangan ultimat dari keadilan ilahi. Perlu disadari bahwa tema dominan kitab Wahyu bukanlah balas dendam, tetapi provisi Allah yang penuh kemurahan hati.[12]
Kitab Wahyu memberikan kita pengertian tentang rencaana-rencana akhir Allah bagi umat Manusia sampai pada rincian tentang bagaimana dunia ini akan berakhir.[13]

    7.      Garis Besar Isi
Kitab yang cukup  rumit ini terbagi dalam bagian-bagian yang berkesinambungan, yang memperlihatkan pergulatan jemaat menghadapi lawan-lawan Allah. Pergulatan ini berawal dari kisah tujuh jemaat dan berakhir dengan penglihatan tentang kemenangan besar Allah, serta penglihatan tentang langit dan bumi yang baru, yang akan diciptakan Allah pada akhir zaman. Kitab Wahyu dapat disusun sebagai berikut :
-          Doa dan nubuat Yohanes (1:1-8)
-          Penglihatan bagi tujuh jemaat (1:9-3:2)
-          Penglihatan tentang Allah dan Anak Domba (4:1-5:14)
-          Tujuh meterai dibuka (6:1-8:5)
-          Tujuh sangkakala (8:6-11:9)
-          Lawan-lawan Allah (12:1-13:18)
-          Penglihatan tentang penghakiman dan perlindungan Allah (14:1-16:21)
-          Kemenangan atas lawan-lawan Allah (17:1-20:15)
-          Allah membaharui segala sesuatu (21:1-22:5)
-          Janji, berkat dan peringatan-peringatan terakhir (22:6-21).[14]
Secara terstruktur, garis besar Kitab Wahyu mencatat tujuh penglihatan yang dapat disusun sebagai berikut :
I.                   Introduksi (1:1-8)
II.                Penglihatan Pertama : Jemaat di Bumi (1:9-3:22)
III.             Penglihatan Kedua : Takhta Allah dan Tujuh Meterai (4:1-8:22)
IV.             Penglihatan Ketiga : Tujuh Sangkakala (8:6-11:19)
V.                Penglihatan Keempat : Aspek Peperangan dan Keselamatan (12:1-14:20)
VI.             Penglihatan Kelima : Tujuh Cawan Penghakiman (15:1-16:21)
VII.          Penglihatan Keenam : Kemenangan Kristus (17:1-19:21)
VIII.       Penglihatan Ketujuh : Langit Baru dan Bumi Baru (20:1-22:5)
IX.             Penutup (22:6-21).[15]
Pasal 20:9-22:5 termasuk dalam penglihatan ketujuh tentang langit baru dan bumi baru yang berisikan penglihatan tentang kekalahan iblis dan maut dan tentang Yerusalem baru dan pohon kehidupan.

Analisis Sastra
Kitab Wahyu memiliki tiga corak sastra yaitu sastra surat, sastra nubuat dan sastra apokaliptik. Khususnya dalam Kitab Wahyu 21:9-22:5 termasuk sastra apokaliptik karena terdapat banyak simbol-simbol yang adalah salah satu ciri dari sastra Apokaliptik. Kitab Wahyu ini mengandung beragam simbol. Kistemaker menulis bahwa kadang Yohanes menafsirkan simbol yang ada, seperti saat ia menyebut si ular tua sebagai Iblis dan Satan (12:9); dan menjelaskan “air” sebagai “bangsa-bangsa dan rakyat banyak dan kaum dan bahasa” (17:15). Berikut ini adalah simbol-simbol yang ada pada Wahyu 21:9-22:5 :
Ketujuh Malaikat (ayat 9), ketujuh cawan (ayat 9), ketujuh malapetaka (ayat 9), pengantin perempuan (ayat 9), Anak Domba (ayat 9, 14, 22, 23, 27), gunung yang besar (ayat 10), kota yang kudus (ayat 10), permata yaspis (ayat 11, 18), tembok besar (ayat 12, 14, 15, 17, 18), pintu gerbang dua belas buah (ayat 12, 21), dua belas malaikat (ayat 12), dua belas suku Israel (ayat 12), dua belas batu dasar (ayat 14), dua belas rasul (ayat 14), tongkat pengukur dari emas (ayat 15), kota itu bentuknya empat persegi (ayat 16), dua belas ribu stadia (ayat 17), seratus empat puluh empat hasta (ayat 17), ukuran manusia (ayat 17), ukuran malaikat (ayat 17), emas tulen (ayat 18), bagaikan kaca murni (ayat 18), dua belas mutiara (ayat 21), Bait Suci (ayat 22), matahari (ayat 23), bulan (ayat 23), raja-raja di bumi (ayat 24), najis (ayat 27), air kehidupan (ayat pasal 22 ayat 1), Takhta (pasal 22 ayat 1).

Analisis Teks
-          Pokok-pokok pikiran :
21:9-14            :           Kota yang Kudus
21:15-21          :           Kemuliaan Kota itu
21:22-27          :           Penerangan Kota itu
22:1-5              :           Pohon Kehidupan.

-          Tafsiran
Kota yang Kudus
Ayat 9 “Maka datanglah seorang dari ketujuh malaikat yang memegang ketujuh cawan, yang penuh dengan ketujuh malapetaka terakhir itu, lalu ia berkata kepadaku, katanya: “Marilah ke sini, aku akan menunjukkan kepadamu pengantin perempuan, mempelai Anak Domba.”
Ayat ini sebenarnya menggambarkan suatu momentum yang mengejutkan, karena yang dikatakan datang adalah seorang malaikat yang memegang ketujuh cawan yang penuh dengan malapetaka. Malaikat ini dikenal sebagai pembawa malapetaka. Ada satu kemiripan antara wahyu 21:9 dengan wahyu 17:1.
Dalam pasal 17, malaikat yang sama membawa cawan murka Allah berkata, “mari kesini, aku akan menunjukkan kepadamu putusan atas pelacur besar …” siapakah pelacur besar? Ia adalah kerajaan Babel Roma, yang sudah diputuskan untuk dihancurkan dan dilenyapkan sekali untuk selama-lamanya. Di sini sang malaikat seolah-olah menunjukkan nasib dari si pelacur besar, yaitu sebuah kedahsyatan dan kengerian hukuman yang akan menimpahnya.
Marilah ke sini – Demikian pula seperti pada Wahyu 21:9. Kita mendengar kata-kata yang hampir sama: “mari ke sini”. Namun, kali ini dia akan menunjukkan “pengantin perempuan mempelai Anak Domba”. Bisa dikatakan, “Mari ke sini, aku akan memperlihatkan betapa mulianya keselamatan yang didatangkan Allah melalui Anak Domba”.
Jadi, mengapa malaikat yang sama di satu pihak ditugaskan untuk memberitakan penghukuman tetapi di pihak lain ditugaskan untuk memberitakan keselamatan? Padahal selama ini kita tahu biasanya setiap malaikat mempunyai pembagian tugas. Kemungkinan yang mau dikatakan di sini adalah malaikat atau aggelos (dalam bahasa Yunani) yang berarti kurir atau utusan sebagai hamba Tuhan. Dia adalah hamba yang harus selalu siap melakukan tugas apa saja yang diberikan Tuhan kepadanya. Jika Tuhan menyuruhnya untuk menggambarkan berita kebinasaan, itulah yang harus ia lakukan. Begitu pula jika Tuhan menugaskannya untuk menggambarkan berita keselamatan, itu pula yang ia kerjakan.[16]
Ayat 10 “Lalu, di dalam Roh ia membawa aku ke atas sebuah gunung yang besar lagi tinggi dan ia menunjukkan kepadaku kota yang kudus itu, Yerusalem, turun dari sorga, dari Allah.”
Ayat ini mengatakan  “roh membawa aku”. Siapakah “aku” disini? Dia adalah Yohanes. Pengalaman Yohanes dibawah ke atas sebuah gunung yang besar dan tinggi sebenarnya mirip dengan peristiwa yang terjadi pada Yehezkiel, karena ia juga diberikan banyak penglihatan ketika rohnya dibawa ke gunung yang sangat tinggi.[17]
Menurut Yohanes, malaikat itu membawanya dalam Roh ke satu gunung yang tinggi. Dengan cara ini juga Yehezkiel menjelaskan pengalamannya. “Pada hari itu juga kekuasaan Tuhan meliputi aku dan dibawa-Nya aku dalam penglihatan-penglihatan ilahi ke tanah Israel dan menempatkan aku di atas sebuah gunung yang tinggi sekali” (Yeh 40:1-2). Menurut H.B. Swete kita tidak boleh memahaminya secara harfiah; diangkat tinggi berarti pengangkatan dalam roh sehinggaa seseorang melihat penglihatan dan mendengar kata-kata yang dikirimkan kepadanya oleh Allah.[18]
Dalam nubuat Yehezkiel, Roh Kudus membawa dan mengangkatnya berkali-kali. Ia dibawah ke Yerusalem, Babel, lembah tulang-tulang kering dan bait Tuhan. (Yeh. 3:12, 14; 11:1, 24; 37:1; 43:5). “dalam penglihatan-penglihatan ilahi ketanah Israel dan menempatkan aku ke atas sebuah gunung yang tinngi sekali” (Yeh. 40:2).
Yerusalem baru disebut kudus, yang berarti kota itu telah Allah kuduskan sebagai sebuah tempat tanpa dosa. Dengan kata lain, kota itu sempurna dalam segala hal. Tinggal di kota itu untuk selamanya dalam hadirat Allah merupakan anugerah yang luar biasa bagi kita. Dalam sejarah umat manusia, ada orang-orang yang berusaha membangun menara Babel untuk mencapai langit, tetapi Allah mengacaukan usaha mereka (Kej. 11:1-9). Sebaliknya, Allah berinisiatif membawa Yerusalem baru turun ke bumi. Kota Allah-lah yang turun ke bumi, bukan usaha manusia yang mencoba menjulangkan kota mereka ke sorga. Yerusalem lama telah rusak oleh dosa sehingga tidak bisa lagi disebut kudus setelah kematian Tuhan Yesus. Yerusalem baru bebas dari dosa dan layak disebut kota yang kudus.[19]
Ayat 11 “Kota itu penuh dengan kemuliaan Allah dan cahayanya sama seperti permata yang paling indah, bagaikan permata yaspis, jernih seperti Kristal.
Kota itu penuh dengan kemuliaan Allah- Dalam ayat ini menjelaskan Yohanes melihat kota Yerusalem yang baru turun dari surga dan penuh dengan kemuliaan Allah, yang bercahaya seperti permata yaspis yang paling indah dan jernih bagaikan kristal. Sinar cahaya yang dimaksud bukan saja menyilaukan dan tajam, meliankan juga cahaya yang menimbulkan rasa keindahan.
Cahayanya sama seperti permata yang paling indah- Ada hal lain yang menarik di sini. Kata ‘cahaya’ yang dipakai ayat ini dalam bahasa Yunani adalah vouster. Padahal dalam Alkitab biasanya kata yang dipakai adalah vous. Ini berarti jika Tuhan Yesus mengatakan kamu adalah terang dunia, maka kata vous yang digunakan. Bukan kata vouster. Vouster ditujukan pada cahaya yanag khusus, yaitu cahaya surgawi. Vouster adalah cahaya yang dihubungkan dengan matahari, sinar bulan, sinar bintang, dan sinar yang ada atau datang dari atas langit. Artinya, kota itu memancarkan cahaya surgawi yang ilahi. [20]
Ada kesulitan dengan penerjemahan bagian ini. Istilah Yunani yang lazim untuk cahaya adalah fos; foster adalah istilah yang lazim untuk benda-benda cahaya di langit, seperti matahari, bulan dan bintang-bintang, misalnya dipakai didalam kisah Penciptaan (Kej. 1:14). Lalu, apakah ini berarti bahwa benda yang menyinari kota itu adalah laksana batu permata yang indah? Atau, apakah itu berarti pancaran cahaya yang memenuhi kota itu jernih berkilau laksana kristal?
Kita berpendapat bahwa kalau kata itu menggambarkan pancaran cahaya yang memenuhi seluruh kota. Kemudian ini di artikan bahwa kota itu tidak lagi memerlukan benda-benda penerang di langit seperti matahari atau bulan untuk menyinarinya, karena Allah menjadi terang baginya.[21]
Dengan berdiri di atas gunung tinggi, Yohanes bisa melihat kota yang sedang turun itu secara menyeluruh. Serupa itu, semua orang percaya yang berdiri di atas puncak gunung iman bisa melihat luasnya jemaat Allah. Seperti cahaya matahari menyinari bulan yang merefleksikan kembali cahaya matahari tersebut, cahaya kemuliaan Allah menyinari jemaat yang kemudian memancarkannya kepada dunia. “Kota itu tidak memerlukan matahari dan bulan untuk menyinarinya, sebab kemuliaan Allah meneranginya dan Anak Domba itu adalah lampunya” (ay. 23; bdk Yes. 58:8; 60:1-2,19; Yeh. 43:4-5). Kota itu diterangi oleh pancaran cahaya Allah.[22]
Ayat 12 “dan temboknya besar lagi tinggu dan pintu gerbangnya dua belas buah; dan di atas pintu gerbang itu ada dua belas malaikat dan di atasnya tertulis nama kedua belas suku
Kota itu di kelilingi oleh tembok besar yang tinggi. Sekali lagi di sini Yohanes berpikir dalam kerangka gambaran para nabi tentang Yerusalem yang diciptakan kembali. Para tembok itu ada dua belas pintu gerbang dan di atasnya tertulis nama dua belas suku Israel. Istilah untuk pintu gerbang itu menarik. Yang dipakai bukan istilah Yunani yang biasa pule, tetapi istilah pulon. Ada dua kemungkinan tentang pulon ini. Ia bisa berarti sebuah rumah besar yang dibangun di halaman terbuka. Ia terbuka ke arah jalan melalui sebuah gerbang besar pada tembok bagian luar dengan sebuah ruangan yang luas. Mungkin ini adalah gambaran yang tepat. Tetapi pulon juga bisa berarti menara-gerbang pada sebuah kota besar, sama seperti gerbang menuju ke benteng.[23]
Uraian Yohanes tentang kota kudus itu mengomunikasikan keamanan, seperti dikesankan oleh tembok yang sedemikian tinggi dan besar. Selain itu, dua belas malaikat berdiri di depan ke dua belas gerbang untuk mengawasi lalu lintas masuk dan keluar. Di lain pihak, totalitas ke dua belas gerbang kota memungkinkan kebebasan dan kemudahan bagi pergerakan lalu lintas. Angka dua belas muncul sepuluh kali di pasal ini dan pasal berikut (ay. 12 [tiga kali], 14 [tiga kali], 16, 21 [dua kali]). Dalam Kitab Wahyu, angka ini selalu melambangkan Allah, umat-Nya, dan tempat tinggal mereka. Angka ini merujuk pada orang-orang pilihan dari dua belas suku (7:5-8) dan melukiskan perempuan yang melambangkan jemaat, denga dua belas bintang di atas kepalanya (12:1). Yerusalem baru dikaitkan dengan dua belas gerbang, dua belas malaikat, dan dua belas suku Israel (21:12); ada pula daftar nama dua belas rasul yang tertulis di atas dua belas batu dasar (21:14); dan ukuran panjang, lebar, dan tingginya adalah 12.000 stadia (21:16). Terakhir, sepanjang ke dua sisi sungai yang mengalir dari tahkta Allah itu terdapat pohon yang berbuah dua belas kali (22:2), yang semuanya adalah pohon kehidupan. Angka ini tidak pernah dipakai untuk merujuk kepada iblis, perbuatannya dan pengikutnya. Dapat disimpulkan bahwa seperti angka tujuh dan sepuluh, dua belas adalah angka sempurna.[24]
Ayat 13 “di sebelah timur terdapat tiga pintu gerbang dan di sebelah utara tiga pintu gerbang dan di sebelah selatan dan di sebelah barat tiga pintu gerbang”.
Ada tiga pintu gerbang di masing-masing keempat sisi kota Allah. Paling tidak sebagian gambaran ini berasal dari Yehezkiel (Yeh. 48:30-35). Kita tidak tahu apakah Yohanes memiliki tujuan lain, selain universalitas gereja, dengan gambarannya atas susunan pintu-pintu gerbang. Ada satu tafsiran simbolis yang mungkin bukan maksud Yohanes sebenarnya, tetapi sangat indah dan menghibur.
Ada tiga gerbang di bagian timur. Timur adalah arah menyingsingnya fajar, tempat matahari terbit yang menandai awal hari baru. Gerbang-gerbang ini mungkin melambangkan jalan masuk ke kota suci bagi orang-orang yang menemukan Kristus pada pagi hari mereka yang bahagia.
Ada tiga gerbang di sebelah utara. Utara adalah daerah dingin, tetapi tidak terlalu menusuk. Gerbang-gerbang ini mungkin melambangkan jalan masuk ke kota suci bagi mereka yang mengenal kekristenan dengan pikiran intelektual mereka, yang menemukan iman lebih dengan pikiran ketimbang dengan hati.
Ada tiga pintu di sebelah selatan. Selatan adalah daerah yang hangat, di mana anginnya lembut dan iklimnya sedang. Gerbang-gerbang ini bisa diartikan sebagai jalan masuk ke kota suci bagi orang-orang yang mengenal Kristus dengan perasaan mereka, orang-orang yang memandang salib dengan penuh cinta.
Ada tiga pintu gerbang di sebelah barat.  Barat adalah tempat matahari terbenam, daerah senja. Gerbang-gerbang ini mungkin bermakna jalan ke kota suci bagi orang-orang yang datang kepada Kristus pada senja hari kehidupan.[25]
Ayat 14 “dan tembok kota itu mempunyai dua belas batu dasar dan di atasnya tertulis kedua belas nama kedua belas rasul Anak Domba itu”.
Tembok kota itu sendiri dibangun di atas dua belas batu, yang sebagian muncul di atas permukaan tanah dengan nama ke dua belas rasul terterah di sana. Dengan nama ke dua belas rasul di atas tanah dan kedua belas suku Israel di pintu gerbang, berarti setiap orang, baik dari zaman Perjanjian Lama maupun Baru, diizinkan masuk ke dalam kota itu. Paulus berkata bahwa semua orang ini adalah anggota keluarha Allah, “yang dibangun diatas para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru” (Ef. 2:20). Tuhan Yesus berkata kepada murid-Nya bahwa “di atas batu karang ini aku akan mendirikan jemaat-Ku” (Mat. 16:18). Dan penulis Ibrani mencatat bahwa oleh iman, Abraham “menanti-nantikan kota yang mempunyai dasar, yang direncanakan dan dibangun oleh Allah” (Ibr. 11:10). Ini adalah contoh kesatuan dan keselarasan Alkitab, karena semua ayat ini mengandung satu pesan. Yohanes menegaskan bahwa dua belas rasul itu adalah milik Anak Domba, yang menyiratkan bahwa yang oleh korban kematiannya diatas kayu salib, Yesus telah membebaskan umat-Nya dari dosa dan kesalahan. Dua belas rasul itu diutus sebagai utusan-utusan Injil Kristus ke seluru dunia (Mat. 28:19-20).[26]

Kemuliaan Kota Itu
Ayat 15 “dan ia, yang berkata-kata dengan aku, mempunyai satu tongkat pengukur dari emas untuk mengukur kota itu serta pintu-pintu gerangnya dan tembok-temboknya”.
Ia yang berkata-kata dengan aku, mempunyai suatu tongkat pengukur dari emas. Tongkat pengukur dari emas itu menujukkan bahwa orang yang memilikinya memiliki kuasa. Tidak sembaranga orang diperbolehkan untuk mengukur rumah orang kecuali ia memiliki kuasa bahwa ia berhak untuk melakukannya. Sebelumnya sudah digambarkan bahwa Yerusalem adalah kota mulia. Namun, sekarang ada yang lebih mulia lagi, yaitu yang memiliki tongkat pengukur dari emas untuk mengukur kota Yerusalem. Betapa pun mulianya kota Yerusalem, tetapi Allah lebih mulia.[27]
Yang berkata-kata dengan Yohanes adalah salah satu dari ke tujuh malaikatyang memperlihatkan mempelai Anak Domba kepada Yohanes (ay. 9). Kini malaikat itu terus menyatakan kepada Yohanes perihal kota Allah.
Tadinya Yohanes diberi tongkat dan disuruh mengukur Bait Allat, Mezbah, dan semua orang yang beribadah (11:1). Saat ini malaikat itu memengang tongkat pengukur dari emas. Tongkat itu terlihat serasi dengan barang-barang sorgawi lain yang terbuat dari emas: kaki dian, kecapi, cawan, mahkota, dan mezbah ungkapan. Bahkan jalan-jalannya terbuat dari emas murni. Bukan Yohanes, melainkan malaikat yang mengukur kota itu berikut pintu gerbang dan tembok-temboknya. Berbedah dari saat Yohanes mengukur Bait Suci dan mezbanya, di sini ukurannya didaftarkan (ay. 16). Yehezkiel 40:5-15 dan 45:1-2 juga merujuk kepada pengukuran kota, tembok dan pintu gerbang. Meski hasil pengukurannya berbedah.[28]

Ayat 16 “kota itu bentuknya empat persegi, panjangnya sama dengan lebarnya. Dan ia mengukur kota itu dengan tongkat itu: dan dua belas ribu stadia; panjangnya dan lebarnya dan tingginya samaí”.
Bagaimana sebenarnya bentuk dari kota tersebut? Kota Yerusalem yang baru berbentuk empat persegi, di mana panjang dan lebar sama ukurannya. Ini menandakan bentuknya yang kubus. Kubus terdiri dari empat bujur sangkar. Jika kita ingat bujur sangkar memiliki panjang dan lebar  yang sama, sedangkan kubus memiliki panjang, lebar dan tinggi yang sama. Ini melambangkan kesempurnaan. Para filsuf ternama, Plato dan Aristoteles, selalu menyebut orang baik seolah-olah seperti empat bujur sangkar karena kesempurnaannya. Di kalangan orang Yahudi, bentuk altar untuk membakar kurban dan dupa, serta bentuk penutup dada seseorang imam besar, mempunyai bentuk bujur sangkar yang melambangkan kemuliaan dan kesempurnaa. Karena itu, Yesrusalem yang baru dengan ukuran panjang, lebar, dan tinggi yang sama menunjukkan sebuah kota yang sempurna.
Berdasarkan ayat 16 ini, hasil dari pengukuran kota tersebut dengan tongkat emas adalah dua belas ribu stadia atau sekitar 2.500 km. Artinya, panjang kota itu 2.500 km, lebarnya 2.500 km, dan tingginya 2.500 km. Artinya kota ini sangat besar. Kita dapat menyimpulkan sebenarnya Allah memiliki tempat yang cukup untuk semua orang. Surga adalah suatu tempat yang sangat luas. Allah ingin semua manussia selamat sehigga Dia menyediakan tempat seluas-luasnya untuk siapa saja.[29]
Yerusalem baru berbentuk kubus: panjang, lebar, dan tingginya 12.000 stadia. Ukuran kubus sempurna ini mengingatkan pada Ruang Maha Kudus Bait Suci Salomo. “Ruang belakang itu 20 hasta panjangnya dan 20 hasta lebarnya dan 20 hasta tingginya” (1 Raj. 6:20). Kubus adalah simbol kesempurnaan.
Perhatikan perbedaan antara Ruang Maha Kudus Bait Suci Salomo dimana Allah tinggal di antara umat-Nya dalam dunia yang berdosa, dengan kota kudus Yerusalem yang turun dari sorga, dimana Allah tinggal dengan umat-Nya yang tak berdosa. Ukuran Yerusalem baru sungguh tak terbayangkan. 12.000 stadia berarti lebih dari 1400 mil (2300 km). panjang dan lebarnya bisa kita ukur dan bayangkan, tapi tingginya amat luar biasa. Hal ini jangan ditafsirkan secara harafiah, tetapi secara khiasan untuk menjelaskan sorga sebagai simetri dan kesempurnaan. Sejumlah teolog mau menjelaskan ukuran ini agar lebih bisa diterima; usaha mengubah stadia menjadi hasta membuatnya menjadi masing-masing 3,5 mil (5,6 km). tetapi Yohanes tidak bertujuan membuat ukuran yang bisa diterima oleh norma manusia, sebab ukurannya bersifat khiasan. Setiap sisi 12.000 stadia, yang jika dikalikan 12 menjadi 144.000. Angka ini sama dengan jumlah pengikut Anak Domba (14:1). Bagi Yohanes, hal ini merupakan suatu simbolisme.[30]
Ayat 17 “lala ia mengukur temboknya: seratus empat puluh empat hasta, menurut ukuran manusia, yang adalah juga ukuran malaikat”.
Dalam ayat ini kita membaca tinggi dari tembok yang berukuran 144 hasta atau sekitar 81 meter. Ini berarti meskipun tembok ini memiliki ukuran panjang dan lebar yang sangat besar, tetapi tidak terlalu tinggi. Tembok Babilonia justru jauh lebih tinggi. Bahkan tembok dari bait Allah yang dibangun Raja Salomo lebih tinggi dari 144 hasta.
Apa sebenarnya yang ingin ditunjukan dari gambaran ini? Kita telah membahas bahwa Allah mau melindungi umatNya dengan benteng yang  mengelilingi kota Yerusalem yang baru, dan bukan untuk mengurangi, apalagi mengasingkan kita dari dunia ini. Inilah yang mendasari pemahaman tentang alasan ukuran tembok yang sengaja tidak dibuat tinggi, tetapi mempunyai banyak pintu gerbang. Tujuannya selain agar kita tetap terlindungi juga sekaligus agar kita tetap berkomunikasi dengan dunia luar atau masyarakat sekitar.[31]
Yohanes mencatat ukuran tembok yang ia sebut besar dan tinggi (ay.12). menurut ukuran manusia yang juga dipakai oleh malaikat, ukuran tembok kota ini 144 hasta (kira-kira 220 kaki). Panjang 1 hasta antara 18-21 inci (45-52 cm), yaitu ukuran dari siku seseorang sampai ujung jari tengah. Tetapi Yohanes tidak mencatat apakah ukuran ini merujuk pada tinggi tembok atau lebar tembok, sehingga pertanyaan ini tetap terbuka. Kota yang tingginya 12.000 stadia tidak akan bisa ditopang oleh tembok setebal 144 hasta. Dan menafsirkan 144 hasta sebagai tinggi dari tembok ini berarti berkonflik dengan 12.000 stadia.
Intinya bukan pada lebar atau tingginya tembok, melainkan pada angka 144, yang adalah 12 persegi. Ini adalah perkalian dua belas suku Israel pada pintu gerbang dengan dua belas Rasul pada batu dasar kota. Jadi angka ini harus dipahami secara khiasan.[32]
Ayat 18 “tembok itu terbuat dari permata yaspis; dan kota itu sendiri dari emas tulen,  bagaikan kaaca murni”.
Di ayat ini dan ayat-ayat berikut (19-21), Yohanes menceritakan keindahan kota yang kudus ini. Ia memaparkan penampilan tembok kota dan kota itu. Pertama, temboknya dari permata yaspis. Kata yaspis muncul 4 kali dalam kitab Wahyu (4:3; 21:11, 18, 19). Dalam pemandangan ruang takhta, Ia yang duduk di atas takhta itu dilukiskan bagai permata yaspis (4:3). Yaspis mungkin semacam buarsa dalam warna-warni hijau, kuning, cokelat dan kemerah-merahan. Kemuliaan Allah di refleksikan oleh batu ini. Batu ini melukiskan hal yang teramat indah. Perjanjian Lama juga merujuk yaspis (lih. Kel. 28:20; 39:13; Yeh. 28:13), tetapi Kistemaker melihat batu ini berbeda dengan apa yang kita maksudkan dengan batu yaspis hari ini, yaitu batu berwarna hijau yang kurang berharga. Sebaliknya, Yohanes mau melukiskan kemuliaan Allah sebagai warna-warni yang menyilaukan. Yohanes menulis, “dan kota itu sendiri dari emas tulen, bagaikan kaca murni.” Emas adalah logam dan tidak tembus pandang seperti kaca. Yohanes bisa jadi membayangkan kilauan dari logam yang indah ini, sebab baginya emas memiliki makna kesempurnaan sorgawi. Ia juga memakai kata bagaikan untuk menunjukkan bahwa sebagai substansi yang berkilau, emas serupa kaca yang jernih. Meskipun di zaman kuno kaca merupakan bahan yang buram, di ayat berikut ia menulis tentang kejernihannya: “jalan-jalan kota itu dari emas murni bagaikan kaca bening” (ayat 21). Penulis tidak sedang menyoroti satu hal yang bertentangan, seperti emas yang transparan, tetapi kesempurnaan bagai kejernihan kaca yang paling jernih.[33]
Ayat 19 “dan dasar-dasar tembok itu dihiasi dengan segala jenis permata. Dasar yang pertama batu yaspis, dasar yang kedua batu nilam, dan dasar yang ketiga batu mirah, dasar yang keempat batu zamrud”. Ayat 20 “dasar yang kelima batu unam, dasar yang keenam batu sardis, dasar yang ketujuh batu ratna cempaka, yang kedelapan batu beril, yang kesembilan batu krisolat, yang kesepuluh batu krisopras, yang kesebelas batu lauzardi dan kedua belas batu kecubung”.
12 batu ini adalah 12 zodiak dengan susunan yang terbaik. Jadi jika zodiak dimulai dengan batu yang terkahir, batu kecubung, ayat ini justru memulai dengan kebaikannya. Apa maksudnya?
Ayat ini mau menunjukkan pada satu pihak, nasib dan perjalanan hidup manusia memang sepenuhnya ada di tangan Allah. Batu-batu zodiak yang dianggap sebagai penentu nasib manusia sekarang hanya dijadikan perhiasan kota Allah. Batu-batu ini tidak lagi menentukan karena kini sepenuhnya nasib manusia hanya dapat diubah dengan tangan Allah, dan tidak tergantung pada perdaran bintang atau peruntungan batu permata. Allah sanggup “memutarbalikkan” segala sesuatu dengan kuasa dan kebebasanNya.[34]
Angka 12 ditekankan dalam hal dasar maupun segala jenis permata, yang mengingatkan kita pada tutup dada imam besar saat ia akan masuk ke dalam Ruang Maha Kudus. Setiap batu mencatat nama salah satu dari kedua belas suku Israel, sehingga ketika imam besar masuk ke dalamRuang Maha Kudus, ia mewakili seluruh umat Allah. Tutup dada itu berbentuk persegi dengan panjang dan lebar masing-masing sejengkal (Kej. 28:16; 39:9). Kebanyakan batu yang tercatat disini ada pada tutup dada imam besar yang berjajar empat dan setiap baris terdiri dari tiga batu (Kel. 28:17-21; 39:10-14; bdk Yeh 28:13). Dari daftar keluaran, permata dalam huruf miring muncul pula dalam tulisan Yohanes. Kistemaker tidak bisa menjelaskan mengapa daftar Yohanes ini berbeda dari catatan tutup dada imam besar di keluaran. Kaitan antara permata di tutup dada dan permata di sini tampaknya ada di Yesaya 54:11-12 tentang pemulihan Yerusalem.
Di antaran 12 pintu gerbang kota suci ada 12 batu dasar. Di setiap batu ini tertulis nama salah satu dari ke 12 rasul (lih. Ayat 14). Pemakaian 12 jenis permata sebagai batu dasar tidak bertujuan untuk menyatakan keindahan dan kekayaan kota suci itu sendiri, tetapi kemuliaan dan kekudusan Allah.
Tidak ada arti tersembunyi dalam setiap permata. Yaspis dikaitkan dengan tembok dan kini dengan batu dasar permata. Nilam yang menghiasi batu dasar kedua adalah permata berwarna biru dan sering muncul dalam Alkitab. Batu ketiga, Mirah. Batu keempat, Zamrud, adalah batu berwarna hijau. Batu kelima, Unam, berwarna putih dengan urat coklat kemerahan. Batu keenam, Sardis, berkisar dari merah oranye hingga coklat tua. Batu ketujuh, Ratna Cempaka, batu kedelapan, Beril, berwarna biru, hijau atau hujai kebiruan. Batu kesembilan, Trisolit, berkisar dari putih, kuning, biru atau hijau. Batu kesepuluh, Kisopras, berwarna hijau apel. Batu kesebelas, Lazuardi, berwarna abu-abu, coklat, kuning, hijau, sampai merah. Batu kedua belas, Kecubung, berwarna ungu atau ungu tua kemerahan. Batu-batu permata ini melukiskan Yerusalem baru dalam kilauan warna-warni dari sudut pandang dunia. Warna-wara ini tidak bisa dilukiskan dari perspektif bumi.[35]
Ayat 21 “dan kedua belas pintu gerbang itu adalah dua belas mutiara: setiap pintu gerbang satu mutiara dan jalan-jalan kota itu dari emas murni bagaikan kaca bening”.
Di dalam dunia kuno, mutiara adalah permata yang paling bernilai. Sepanjang hidupnya, seorang pedagang dapat mengejar mutiara yang berharga dan kemudian rela menjual seluruh hartanya untuk membeli mutiara itu (Mat. 13:46). Gerbang mutiara adalah simbol keindahan yang tak terbayangkan dan kekayaan yang tak ternilai.[36]
Yohanes kembali berfokus pada pintu gerbang kota (ayat 12-13) dan melukisnya dalam terang Yesaya 54:12, “aku akan membuat … pintu-pintu gerbangmu dari batu manikan merah dan segenap tembok perbatasan dari batu permata.” Pertama pintu gerbang ini adalah mutiara; suatu mutiara untuk setiap pintu gerbang. Ia kembali berharap pembaca memahami penjelasannya secara simbolis; dua belas pintu gerbang dan dua belas mutiara. Selain tembok kota, mutiara juga dipakai untuk membuat pintu gerbang. Mutiara dalam Alkitab sangat berharga, terbukti dalam perumpamaan mutiara yang berharga (Mat. 13:45-46, bdk Mat. 7:6; lih juga 1 Tim 2:9; Why. 18:12). Untuk masuk ke dalam kerajaan sorga, orang itu harus menjual segala miliknya guna membeli mutiara yang mahal harganya itu.
Yang ditekankan di sini bukan besar atau mahalnya mutiara tersebut. Yohanes berbicara secara khiasan dan memaparkan gambaran kesempurnaan. “pintu gerbang mutiara melambangkan keindahan yang tak terbayangkan dan keakayaan yang tak ternilai.”
Jalan kota ini menjadi koridor utama dan di sini menjadi contoh bagi semua jalan (lih 22:2). Jalan ini terbuat dari emas murni yang melambangkan kesempurnaan sorgawi (lih ay. 18). Yohanes membandingkannya dengan kaca bening, yang merujuk kepada kemurnian sempurna. Kejerniannya sedemikian rupa sehingga sama sekali tak bercacat. Semua penduduk kota tak bercacat. Jika di Bait Salomo hanya imam besar yang boleh berjalan di atas lantai bersalut emas (1 Raj. 6:30) maka di Yerusalem baru, semua orang kudus berjalan di atas jalan yang terbuat dari emas.[37]

Penerangan Kota Itu
Ayat 22 “dan aku tidak melihat bait suci di dalamnya; sebab Allah, Tuhan Yang Maha kuasa, adalah Bait Sucinya, demikian juga anak domba itu”. Ayat 23 “dan kota itu tidak memerlukan matahari dan bulan untuk menyinarinya, sebab kemuliaan Allah, meneranginya  dan Anak Domba itu adalah lampunya”.
Kota Yerusalem terkenal karena Bait Allah berada disana. Namun dalam ayat ini dikatakan Bait Suci tidak ada lagi. Barangkali kita dapat bayangkan, setelah Yohanes melihat Yerusalem baru, satu-satunya keinginannya yang pertama adalah melihat tempat bait suci itu berada. Ini karena Bait Suci pada waktu itu sudah hancur lebur.[38]
Di sepanjang Kitab Wahyu, Yohanes berbicara tentang Bait Suci Sorgawi. Ia kerap menyebut Bait Suci sebagai tempat Allah tinggal, tetapi kini saat Allah mendiami Yerusalem Baru, kota suci itu sendiri menjadi Bait Sucinya. Ruang Maha Kudus di Bait Suci Salomo berbenntuk kubus (1 Raj.6:20); kota suci itu juga berbentuk kubus; di sana Allah tinggal dan memenuhinya dengan hadiratnya yang kudus. Orang kudus di kota ini tidak pernah berada di luar hadirat Allah, sebab Allah tidak pernah berpisah lagi dengan umat-Nya. Mereka bisa masuk ke dalam hadiratnya tanpa perantara Kristus (Ibr. 9:24). Peran Kristus sebagai Anak Domba perantara telah berakhir dan ia kini berfungsi sebagai mempelai pria bagi umatnya (19:7).
Yehezkiel memerlukan tujuh pasal untuk mengisahkan Bait Suci yang baru, para imam dan ibadahnya (Yeh. 40-46), tetapi pembangunan Bait Suci kedua tidak bisa menyamai Bait Suci ideal. Para orang-orang tua, yang teringat pada keindahan Bait Suci Salomo, menangis saat melihat Bait Suci kedua (Ezr. 3:12). Penggenapan Bait Suci ideal terefleksi dalam janji Allah bahwa Ia akan hidup selamanya diantara umat-Nya dan oleh tulisan “TUHAN HADIR DISITU” (Yeh. 43:7 dan 48:5). Tuhan Yesus berkata kepada perempuan samaria bahwa penyembahan yang benar bisa menyembah Allah di mana saja (Yoh 4:21, 23) dan Paulus mengajarkan bahwa sebagai jemaat, mereka adalah Bait Allah (1 Kor 3:16-17; 2 Kor 6:16; Ef. 2:21-22).
Yohanes mengaitkan Allah dan Anak Domba dengan Bait Suci saat Allah dan umatnya tinggal bersama untuk selamanya, maka nubuat perjanjian lama tentang Bait Allah yang ideal akan terpenuhi dalam Tuhan Yesus Kristus. Jadi, hadirat Allah dan Kristus menjadi Bait Suci mereka. Allah adalah Tuhan yang berdaulat dan Maha Kuasa (1:8; 4:8; 11:17; 15:3; 16:7, 14; 19:6, 15) yang tinggal bersama mereka di Yerusalem baru.
Bait Suci sama dengan kota suci dan Yohanes menyebut kedua tempat ini secara bergantian. Ia jelas merujuk Yesaya 60:19 (bdk Yes. 24:23) yang ia adaptasikan secara bebas. Yesaya mencatat nubuat ini dalam konteks, “kota Tuhan, Sion, milik yang Maha Kudus, Allah Israel” (Yes. 60:14), sementara Yohanes menulis setelah berbicara tentang Yerusalem baru sebagai penggenapan nubuat itu, Yohanes mengubang tentang Yerusalem baru. Sebagai penggenapan nubuat itu, Yohanes mengubah “Allahmu akan menjadi keagunganmu” menjadi “Anak Domba itu adalah lampunya”. Tuhan Allah dan Anak Domba berada dalam kemuliaan yang sama (lih. Yoh 1:14), karena di sini Anak Domba adalah sumber cahaya, sementara di 22:5, Allah-lah sumber cahayanya. Cahaya kemuliaan ilahi ini meredup semua sumber cahaya lain sehingga menjadi tidak berarti. Selain itu, matahari dan bulan yang diciptakan untuk menandai waktu kosmis tidak berfungsi lagi di kekekalan. Jadi, Yohanes menulis “malam tidak aka nada lagi di sana” (ayat 25; bdk Zak. 14:7). Hal ini di ulang di 22:5, “malam tidak akan ada lagi di sana dan mereka tidak memerlukan cahaya lampu dan cahaya matahari, sebab Tuhan Allah akan menerangi mereka”.[39]
Ayat 24 “dan bangsa-bangsa akan berjalan di dalam cahayanya dan raja-raja di bumi akan membawa kekayaan mereka kepadanya;” Ayat 25 “dan pintu-pintu gerbangnya tidak akan ditutup pada siang hari, sebab malam tidak aka nada lagi di sana;” Ayat 26 “dan kekayaan dan hormat bangsa-bangsa akan dibawa kepadanya.”
“Dan bangsa-bangsa akan berjalan di dalam cahayanya dan raja-raja di bumi membawa kekayaan mereka kepadanya”. Yohanes masih meminjam Nubuat Yesaya (ayat 3 dan 5) “bangsa-bangsa berduyun-duyun datang kepada terangmu, dan raja-raja kepada cahaya yang terbit bagimu … dan kekayaan bangsa-bangsa akan datang kepadamu”. Disepanjang kitab Wahyu, bangsa-bangsa selalu merujuk pada bangsa-bangsa lain yang karena melawan Allah, layak menerima murkanya. Tetapi di tiga ayat ini (ayat 24, 26; 22:2) bangsa-bangsa merujuk bangsa yang telah ditebus di Yerusalem baru. Jadi dalam terang Yesaya, Yohanes memberikan suatu pengertian baru kepada konsep bangsa-bangsa dan raja-raja, yaitu bukan sebagai musuh Allah dan umatnya (mis., 18:3, 9, 23; 19:19). Ia mencatat bahwa bangsa-bangsa dan raja-raja ini adalah bagian keluarga Allah. Mereka dengan sukacita mempersatukan korban dan pujian mereka, “yaitu ucapan bibir yang memuliakan namanya” (Ibr. 13:15).
Penduduk Yerusalem baru berasal dari setiap suku, bahasa, kaum dan bangsa; mereka di beli dengan darah Anak Domba (5:9). Mereka adalah bagian dari kumoulan besar yang tak terhitung jumlahnya (7:9). Raja-raja bumi di sini adalah mereka yang beroleh kehormatan memerintah bersama Kristus, karena mereka menolak tanda binatang itu (20:4, 6). Bangsa-bangsa dan raja-raja ini adalah warga kerajaan Allah. Mereka tinggal di luar kota, “sebab di luar kota Allah itu tidak ada apa-apanya – selain lautan api”.
Bangsa-bangsa itu berjalan di bawah cahaya ilahi yang menerangi kota itu dan raja-raja bumi memuliakan Allah. Mereka hidup dalam terang dank arena itu, mempersembahkan kemuliaan dan kehormatan pada Alla (ayat 26).
Penduduk kota ini tidak mencari kemuliaan mereka sendiri, tetapi dalam penyembahan yang terus-menerus mereka memuliakan Allah.
”Dan pintu-pintu gerbangnya tidak akan ditutup pada siang hari, sebab malam tidak aka nada lagi disana”. Yohanes masih meminjam nubuat Yesaya. Pada zaman kunopintu gerbang kota ditutup pada waktu malam demi keselamatan penduduknya. Di sini Yohanes mengubah upacan Yesaya, “sebab malam tidak ada lagi di sana”. Karana matahari dan bulan tidak lagi berfungsi, kota itu selama-lamanya siang, menikmati cahaya Allah dan Anak Domba. Teks Yunani menekankan aspek negative ini: “pintu-pintu gerbangnya tidak perna di tutup”.
Orang-orang kudus di kota suci tidak perlu beristirahat dan tidak ada lagi kegelapan disana. Para malaikat yang turut berbagian dalam kekekalan menyemba Allah di sorga tanpa perlu istirahat, siang dan malam (4:8). Sebaliknya, mereka yang menyemba binatang itu berada di neraka siang malam, tanpa istirahat (14:11). Penulis memakai istila kosmis siang dan malam, penulis memakai istilah kosmis siang dan malam, tetapi ia menyatakan bahwa orang-orang kudus bersukacita dalam kekekalan dan menyiratkan bahwa mereka  tidak akan perrna mengalami kegelapan kekal seperti orang-orang yang mengalami kematian yang kedua.
Terbukanya pintu gerbang kota untuk selamanya tidak berarti makhluk, manusia, atau malaikat yang tak di kehendaki bisa massuk ke dalam. Sebaliknya, pintu terbuka menyiratkan bahwa para penduduk kota itu mutlak aman dari segala kuasa jahat yang telah dilempar kedalam lautan api.
“Dan kekayaan dan kehormatan bangsa-bangsa akan dibawa kepadanya”. Subjek kalimat ini terkait dengan ayat 24, yaitu “bangsa-bangsa … dan raja-raaja dibumi”. Bangsa-bangsa dan raja-raja ini bersama-sama berlutut menyembah dan mengaku Yesus adalah Tuhan diatas segala tuan dan Raja di atas segala raja. Mereka adalah raja-raja dari tarsis, dari pulau-pulau yang jau, dari syeba dan seba. Mereka membawa persembahan mereka bagi hormat dan kemulian Tuhan; mereka sujud menyembah dan melayani Dia (Mzm. 72:10-11).
Yohanes memakai bahasa kiasan saat berbicara tentang kota, bangsa-bangsa, raja-raja, pintu gerbang, siang, malam, hormat dan kemuliaan. Lambang-lambang yang dipakai menyiratkan banwa Yerusalem baru meliputi langit baru dan bumi baru. Allah dan Anak Domba tinggal selamanya dengan orang kudus dalam langit baru dan bumi baru, yang disebut kota suci.[40]
Ayat 27 “Tetapi tidak akan masuk kedalamnya sesuatu yang najis, atau orang yang melakukan kekejian atau dusta, tetapi hanya mereka yang namanya tertulis di dalam kitab kehidupan Anak Domba itu.”
Jika ayat-ayat di atas mencatat kehidupan orang kudus setelah penghakiman terakhir, ayat ini berbicara tentang kehidupan penduduk bui sebelum penghakiman itu. Yohanes memperingatkan pembaca bahwa mereka sedang hidup dalam masa anugerah. Ketika akhir itu tiba, tidak ada lagi waktu untuk bertobat. Pembaruan rohani terjadi dalam hidup saat ini, bukan setelah kematian. Sekaranglah saat untuk memperhatikan peringatan itu, bertobat sepenuh hati dan mengikuti Tuhan dengan melakukan kehendak-Nya.
Apakah arti kata najis? Kata ini merujuk segala hal yang tidak suci dan tidak murni. Istilah ini diturunkan dari Yudaisme kepada kekristenan. Peraturan dan hukum perjanjian lama melarang orang yang najin rohani dan jasmani memasuki pelataran Bait Suci; dan dimasa Perjanjian Baru, setiap orang menolak mengaku Yesus sebagai Tuhan di perkenankan menerima baptisan dan berbagian dalam perjamuan kudus. Setiap angora yang menolak bertobat menghadapi disiplin.
Yohanes sedang mengingat Yesaya 52:1, “hai Yerusalem, kota yang kudus! Sebab tidak seorangpun yang tak bersunat atau yang naji akan masuk lagi ke dalammu.” Penulis Kitab Wahyu di ayat lain menguraikan apa saja yang termasuk “najis” seorang najis melakukan perkara-perkara keji termasuk “tukang sihir, orang-orang cabul, orang-orang pembunuh, orang-orang penyembah berhala dan setiap orang yang mencintai dusta” (20:15; lih 21:8) dan orang yang berkata dusta memiliki iblis sebagai bapaknya (Yoh 8:44; mereka tidak termasuk dalam kerajaan Allah.
Sebaliknya orang yang namanya tercatat di kitab kehidupan Anak Domba bebas masuk kedalam kota kudus; mereka beroleh hidup kekal dan menjadi milik Juruselamat mereka yang setia, Tuhan Yesus Kristus. Anak Domba yang telah memberi mereka dengan darahnya (5:9) tidak akan pernah menghapus nama mereka dari Kitabnya (ayat 5). Ia akan memberi mereka ha katas pohon-pohon kehidupan dan hak masuk ke dalam kota itu (22:14).[41]
Pohon Kehidupan
Ayat 1 “Lalu ia menunjukkan kepadaku sungai air kehidupan, yang jernih bagaikan Kristal, dan mengalir keluar dari takhta Allah dan takhta Anak Domba itu.
Sungai membuat tanah itu menjadi indah dan subur. Kita tahu bahwa segera setelah manusia jatuh dalam dosa, Taman Eden seolah-olah merupakan taman yang hilang. Manusia diusir keluar dari situ. Kita pun tidak mengetahui lagi dimana taman itu berada. Beberapa ahli arkeologi mencoba menyelidiki letak taman itu, dan ternyata sungai yang mengaliri taman itupun hilang. Namun, kini semua itu diperkenalkan lagi kepada kita.
Sungai tersebut juga mengingatkan kita tentang nubuat nabi Yoel (Yl. 3:18) tentang sungai yang mengalir dari Bait Allah. Gambaran tentang sungai ini memang sangat istimewa bagi orang Israel, dan berbeda dengan laut yang menjadi simbol bahaya, kematian dan maut yang mengancam. Sungai adalah simbol kehidupan, kesuburan, dan kesegaran. Sungai juga melambangkan penyertaan Allah dalam kehidupan ini. Dipihak lain, Perjanjian Lama juga sering berbicara tentang pancaran air secara simbolis. Seperti dalam Amsal 10:11 tertulis, “ Mulut orang benar adalah sumber kehidupan, tetapi mulut yang fasik menyembunyikan kelaliman.” Atau dalam Amsal 13:14. “ Ajaran orang bijak adalah sumber kehidupan, sehingga orang terhindar dari jerat-jerat maut.” Selain itu, juga dalam Amsal  14:27.[42]
Ayat 2 “Di tengah-tengah jalan kota itu, yaitu di seberang-menyeberang sungai itu, ada pohon-pohon kehidupan yang berbuah dua belas kali, tiap-tiap bulan sekali; dan daun pohon-pohon itu dipakai untuk menyembuhkan bangsa-bangsa.”
Semua yang mengalir di tengah-tengah jalan utama terbuat dari emas (21:21). Uraian Yohanes singkat tetapi jelas. Fokusnya bukan jalan, melainkan sungainya. Di tepi kiri dan kanan sungai itu terdapat sederetan pohon, yang ia sebut sebagai pohon kehidupan. Allah menanam pohon ini dan pohon pengetahuan baik dan jahat di taman Eden (Kej. 2:9); dan kerup menjaga pohon kehidupan ini dengan pedang menyala (Kej. 3:24). Dengan sungai dan pohon kehidupan, Yohanes melukiskan Firdaus yang diperbaharui untuk melengkapi catatan alkitabiah akan sejarah manusia. Adam dan Hawa diusir dari Taman Eden agar mereka tidak menjama pohon kehidupan, tetapi di kota suci semua warga memiliki ha katas pohon itu (22:14; 2:7).
Pohon kehidupan berbuah dua belas macam, setiap bulan 1 macam. Penulis memakai istilah waktu kronologi agar penjelasannya bisa dipahami. Berdiri di ambang kekalahan, Yohanes harus memakai istilah bulan dan tahun. Pohon yang berbuah merujuk panen yang berkelimpahan; dan makanan ini menunjukkan kehidupan kekal bagi mereka yang memakannya.[43]
Ayat 3 “ Maka tidak aka nada lagi laknat. Takhta Allah dan takhta Anak Domba akan ada di dalamnya dan hamba-hamba-Nya akan beribadat kepada-Nya.”
“maka tidak akan ada lagi hikmat” Yohanes meminjam ucapan ini dari nubuatan tentang pemulihan Yerusalem pada akhir zaman, “orang akan menetap di dalamnya, dan tidak aka nada lagi laknat, karena Yerusalem akan tetap aman” (Zak. 14:11 “penumpasan tidak akan ada lagi”). Setelah Adam dan Hawa berdosa di Taman Eden, Allah mengutuk ciptaan dan umat manusia (Kej. 3:17-19). Kutuk ini tetap berlaku hingga pemulihan, dan baru setelahnya, setiap orang bisa dengan bebas mengambil buah pohon kehidupan.
“takhta Allah dan takhta Anak Domba aka nada di dalamnya dan hamba-hamba-Nya akan beribadah kepada-Nya.” Sekali lagi Yohanes berkata bahwa takhta Allah dan Anak Domba aka nada di kota suci. Ia kembali menekankan keilahian Kristus dalam kesetaraan-Nya dengan Allah, yang tampak dari dipakainya pronominal persona Nya di kalusa kedua (lih. 22:4; 11:15; 20:6). Baik Allah maupun Anak Domba menempati satu takhta, sementara warga kota Suci akan melayani sebagai imam.[44]
Ayat 4 “Dan mereka akan melihat wajah-Nya, dan nama-Nya akan tertulis di dahi mereka.”
Klausa pertama mengandung berita yang luar biasa karena di seluruh Alkitab, tak seorangpun bisa melihat wajah Alah dan tetap hidup. Musa diizinkan melihat punggung Allah, bahkan wajah-Nya 9Kel. 33:20, 23). Tak seorangpun yang pernah melihat Allah (Yoh. 1:18; 6:46; 1 Yoh 4:12), tetapi di sini Yohanes berkata bahwa orang-orang kudus yang dimuliakan akan melihat wajah-Nya. Di tempat lain Yohanes juga menyinggung perihal melihat Allah ini: “akan tetapi kita tahu, bahwa orang-orang kudus yang dimuliakan akan melihat wajah-Nya. Di tempat lain Yohanes juga menyinggung perihal melihat Allah ini: “Akan tetapi kita tahu, bahwa apabila Kristus menyatakan diri-Nya, kita akan menjadi sama seperti Dia, sebab kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya” (1 Yoh 3:2b). Allah akan berelasi dengan umat-Nya seperti saat sebelum kejatuhan, di saat ia berjalan dan berbicara dengan Adam dan Hawa di Taman Eden, di hari yang sejuk itu.[45]
Ayat 5 “Dan malam tidak akan ada lagi di sana, dan mereka tidak memerlukan cahaya lampu dan cahay matahari, sebab Tuhan Allah akan menerangi mereka, dan mereka akan memerintah sebagai raja sampai selama-lamanya.”
Ayat ini menjadi nas penutup yang meringkas apa yang telah Yohanes katakana di bagian terakhir pasal 21. Dengan mengulangi bagian terakhir ini, Yohanes hendak menegaskan pesannya. (1) Ia mengulang 21:25 kata demi kata: dalam ciptaan baru, pembagian siang dan malam tidak berlaku lagi (Zak 14:7). Akan selalu ada terang dalam kota suci, yang berarti segala sesuatu yang adalah bagian dari ciptaan lama telah tiada. (2) ayat ini mengajarkan bahwa dalam dunia yang diperbarui, umat Allah tidak perlu lagi beristirahat dan tidur; mereka akan memiliki tenaga tak terbatas untuk melayani Allah dan memuji nama-Nya untuk selama-lamanya.[46]
Analisis Teologi/Makna Bagi Pembaca Masa Itu :
·         Demikian juga kita sebagai hamba Tuhan harus bersikap sama seperti malaikat ini. Apapun yang Tuhan minta untuk kita laksanakan, kita juga harus melaksanakannya dengan taat dan setia.
·         Diperlukan pertumbuhan rohani dalam diri kita. Jika rohani kita bertumbuh, semakin lama rohani kita semakin naik lebih tinggi. Kemungkinan kita untuk dapat mempunyai lebih banyak kemampuan melihat apa yang sebelumnya tidak dapat kita lihat, akan meningkat. Kita dapat melihat dan menembus kenyataan yang tak terlihat itu dengan melihat hal-hal yang ada di balik semua kenyataan itu.
·         Yesus mengatakan bahwa orang percaya adalah terang dunia. Karena itu, mungkin yang menyebbabkan kota itu memancarkan cahaya terang dan indah adalah para penghuninya. Orang-orang yang tinggal di Yerusalem baru adalah para martir yang diselamatkan Allah. Mereka menjadi terang yang hidup selama di dunia. Demikianlah hendaknya tugas kita sebagai orang Kristen. Kita harus menjadi terang dunia yang memancarkan cahaya ilahi dimana saja kita berada.
·         Relevansi mengenai tembok adalah yang paling penting disini bukanlah gedungnya, karena gedungnya boleh hancur. Bisa hilang. Bukan karena gedung itu tidak penting, meliankan tidak menentukan. Keberadaan yang sangat penting adalah kehadiran Allah itu sendiri.
·         “Takut akan Tuhan adalah sumber kehidupan sehingga orang terhindar dari jerat maut.”
·         Iman adalah tembok tempat para orang suci milik Allah dapat berlindung dengan aman dari serangan dunia kedagingan dan Iblis.
Relevansi/Berita Bagi Pembaca Masa Kini :
Relevansi bagi pembaca masa kini dari Wahyu 21:9-22:5 tentang Yerusalem Baru ini adalah bersikap sama dengan malaikat yang ada, kita harus selalu patuh kepada Tuhan Allah yang menciptakan kita. Kita harus patuh akan perintah-perintah Tuhan karena keselamatan dan hidup yang kekal kita semua manusia berasal dari Tuhan Allah.
Dan dalam pembahasan ini yang menjadi berita adalah kita harus berbuat segala yang baik dan kita akan menjadi cahaya yang dapat menerangi orang-orang yang ada di sekitar kita. Kita menjadi terang dengan membantu orang-orang yang ada di sekitar kita dengan hikmat yang Tuhan berikan kepada kita semua. Tapi tentunya juga itu semua berdasarkan dari iman kita terlebih dahulu. Karena ketika iman kita telah bertumbuh dalam Kristus, segala yang baik pasti kita lakukan hanya berdasarkan dari perintah Tuhan.
Dan yang terpenting adalah iman kita adalah tembok dimana yang menjadi tempat perlindungan kita yang berasal dari Allah. Jadi jika iman kita kuat, maka perlindungan Allah akan kita rasakan selalu.





DAFTAR PUSTAKA
Barclay William., Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Kitab Wahyu Kepada Yohanes Pasal 6-22,   
            (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007).
Darmaputera Eka., Menyingkap Janji Tuhan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012).
Drane John., Memahami Perjanjian Baru: Pengantar Historis-Teologis, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2012).
Duyvermen M. E., Pembimbing Kedalam Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012).
Guthrie Donald., Pengantar Perjanjian Baru Volume 3, (Surabaya: Momentum, 2014).
Kistemaker Simon J., Tafsiran Kitab Wahyu, (Surabaya: Momentum, 2011).
LAI, Alkitab Edisi Study, (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2011).
Marxsen, Willi. Pengantar Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009).




[1] Willi Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009) hlm. 342-343.
[2] Drs. M. E. Duyvermen, Pembimbing Kedalam Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012) hlm. 218.
[3] Simon J. Kistemaker, Tafsiran Kitab Wahyu, (Surabaya: Momentum, 2011) hlm. 20.
[4] Drs. M. E. Duyvermen, Pembimbing Kedalam Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012) hlm. 214-215.
[5] Drs. M. E. Duyvermen, Pembimbing Kedalam Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012) hlm. 220-221
[6] Simon J. Kistemaker, Tafsiran Kitab Wahyu, (Surabaya: Momentum, 2011) hlm. 20.
[7] Willi Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009) hlm. 343-344.
[8] Drs. M. E. Duyvermen, Pembimbing Kedalam Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012) hlm. 220-221.
[9] Willi Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009) hlm. 342.
[10] Simon J. Kistemaker, Tafsiran Kitab Wahyu, (Surabaya: Momentum, 2011) hlm. 38.
[11] John Drane, Memahami Perjanjian Baru: Pengantar Historis-Teologis, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012) hlm. 509.
[12] Donald Guthrie, Pengantar Perjanjian Baru Volume 3, (Surabaya: Momentum, 2014) hlm. 271-272.
[13] John Drane, Memahami Perjanjian Baru: Pengantar Historis-Teologis, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012) hlm. 504.
[14] LAI, Alkitab Edisi Study, (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2011) hlm. 2046.
[15] Simon J. Kistemaker, Tafsiran Kitab Wahyu, (Surabaya: Momentum, 2011) hlm. 71-74.
[16] Eka Darmaputera, Menyingkap Janji Tuhan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), hlm. 434-435.
[17] Eka Darmaputera, Menyingkap Janji Tuhan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012).
[18] William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Kitab Wahyu Kepada Yohanes Pasal 6-22, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007).
[19] Simon J. Kistemaker, Tafsiran Kitab Wahyu, (Surabaya: Momentum, 2011) hlm. 615-616.
[20] Eka Darmaputera, Menyingkap Janji Tuhan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012).
[21] William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Kitab Wahyu Kepada Yohanes Pasal 6-22, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007).
[22] Simon J. Kistemaker, Tafsiran Kitab Wahyu, (Surabaya: Momentum, 2011) hlm.616.
[23] William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Kitab Wahyu Kepada Yohanes Pasal 6-22, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007).
[24] Simon J. Kistemaker, Tafsiran Kitab Wahyu, (Surabaya: Momentum, 2011) hlm.617.
[25] William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Kitab Wahyu Kepada Yohanes Pasal 6-22, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007).
[26] Simon J. Kistemaker, Tafsiran Kitab Wahyu, (Surabaya: Momentum, 2011) hlm. 618.
[27] Eka Darmaputera, Menyingkap Janji Tuhan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012).
[28] Simon J. Kistemaker, Tafsiran Kitab Wahyu, (Surabaya: Momentum, 2011) hlm. 619
[29] Eka Darmaputera, Menyingkap Janji Tuhan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012).

[30] Simon J. Kistemaker, Tafsiran Kitab Wahyu, (Surabaya: Momentum, 2011) hlm. 619-620.
[31] Eka Darmaputera, Menyingkap Janji Tuhan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012).
[32] Simon J. Kistemaker, Tafsiran Kitab Wahyu, (Surabaya: Momentum, 2011) hlm. 620-621.
[33] Simon J. Kistemaker, Tafsiran Kitab Wahyu, (Surabaya: Momentum, 2011) hlm. 621
[34] Eka Darmaputera, Menyingkap Janji Tuhan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012).
[35] Simon J. Kistemaker, Tafsiran Kitab Wahyu, (Surabaya: Momentum, 2011) hlm. 621-623.
[36] Eka Darmaputera, Menyingkap Janji Tuhan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012).
[37] Simon J. Kistemaker, Tafsiran Kitab Wahyu, (Surabaya: Momentum, 2011) hlm. 623.
[38] Eka Darmaputera, Menyingkap Janji Tuhan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012).
[39] Simon J. Kistemaker, Tafsiran Kitab Wahyu, (Surabaya: Momentum, 2011) hlm. 624-625.
[40] Simon J. Kistemaker, Tafsiran Kitab Wahyu, (Surabaya: Momentum, 2011) hlm.625-627.
[41] Simon J. Kistemaker, Tafsiran Kitab Wahyu, (Surabaya: Momentum, 2011) hlm.628.
[42] Eka Darmaputera, Menyingkap Janji Tuhan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012).
[43] Simon J. Kistemaker, Tafsiran Kitab Wahyu, (Surabaya: Momentum, 2011) hlm. 635-636
[44] Simon J. Kistemaker, Tafsiran Kitab Wahyu, (Surabaya: Momentum, 2011) hlm.636-637.
[45] Simon J. Kistemaker, Tafsiran Kitab Wahyu, (Surabaya: Momentum, 2011) hlm.637.
[46] Simon J. Kistemaker, Tafsiran Kitab Wahyu, (Surabaya: Momentum, 2011) hlm.637-638.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar